Kasus Pagar Laut, Perampokan Sumber Daya Alam

Mantan Menkofolhukam RI Mahfud MD.--Foto Dok---

Radarlambar.bacakoran.co - Kasus pagar laut misterius yang terletak di pesisir Tangerang, yang membentang sepanjang 30,16 km, kini tengah menjadi perhatian publik dan aparat penegak hukum. Pembangunan pagar ini, yang mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan, berpotensi besar melanggar hukum yang mengatur pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam. Pagar tersebut, yang pertama kali terungkap pada Agustus 2024, diduga merupakan bagian dari upaya perampokan terhadap kekayaan negara, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam yang seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang.

Kasus ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama pakar hukum yang menilai bahwa ini adalah pelanggaran besar terhadap aturan tata ruang dan perlindungan lingkungan hidup. Menurut ahli hukum, laut sebagai sumber daya alam yang vital tidak bisa dimiliki oleh pihak swasta, baik itu perusahaan ataupun individu. Secara hukum, tidak ada mekanisme yang membolehkan pemberian sertifikat hak guna bangunan (HGB) di atas laut, yang menurut banyak pihak justru menjadi indikasi niat buruk dalam penyalahgunaan sumber daya alam.

Dalam kasus ni, Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, mengungkapkan bahwa tindakan ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip dasar hukum, tetapi juga menunjukkan adanya upaya untuk mengalihkan lahan negara menjadi milik pribadi. Menurutnya, praktik semacam ini merupakan pelanggaran hukum yang serius, di mana hak atas tanah di atas laut ini tidak boleh diberikan. Sertifikat HGB yang diterbitkan di atas air menunjukkan adanya penipuan atau penggelapan yang dapat merugikan negara.

Mahfud juga menyoroti kemungkinan adanya kolusi antara pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat ini dengan pejabat yang berwenang. Ia menjelaskan bahwa penerbitan sertifikat atas nama perusahaan seperti PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, serta atas nama individu tertentu, merupakan bukti kuat adanya praktik penyalahgunaan wewenang. Dalam pandangannya, tindakan ini berpotensi melibatkan aliran uang dan suap yang mempengaruhi proses penerbitan sertifikat.

Selain itu, Mahfud mengingatkan bahwa dalam hukum Indonesia, tanah di atas laut tidak dapat diberi status hak guna bangunan. Hal ini menciptakan masalah besar karena sertifikat HGB yang dikeluarkan atas lahan laut menandakan bahwa pihak tertentu memiliki niat untuk mengubah status tanah tersebut menjadi daratan, yang kemudian bisa dijadikan objek reklamasi. Kondisi ini bisa sangat merugikan masyarakat, yang berpotensi kehilangan akses terhadap wilayah pesisir yang seharusnya menjadi milik bersama dan dilindungi negara.

Kasus ini juga menjadi peringatan bagi aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Mahfud mendesak agar Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan penyelidikan mendalam terhadap praktik yang diduga melibatkan kolusi ini. Ia menilai bahwa dengan adanya sertifikat atas lahan laut, pihak terkait bisa dikenakan pasal pidana, seperti penipuan atau penggelapan, yang jelas melanggar hukum.

Kasus pagar laut ini bukan hanya mencuatkan persoalan hukum, tetapi juga mengundang kekhawatiran akan potensi kerugian besar bagi negara dan masyarakat, terutama dalam aspek perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu, kejelasan hukum sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan yang merugikan negara dan masyarakat dapat segera diproses dan tidak terulang di masa depan.

Dengan semakin jelasnya temuan ini, Mahfud berharap aparat penegak hukum bisa menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik ini, termasuk dalam hal dugaan kolusi dengan pejabat yang memfasilitasi penerbitan sertifikat HGB yang tidak sah di atas laut. Selain itu, ia mengingatkan agar setiap tindakan yang merugikan negara, terutama yang melibatkan sumber daya alam yang dilindungi, harus mendapatkan perhatian serius dan penanganan yang cepat.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan