Pemprov Lampung Lakukan Pembinaan Satgas Konflik Satwa
DINAS Kehutanan Provinsi Lampung melalui UPTD KPH Pesbar menggelar Pembinaan Masyarakat atau Satgas Terdampak Interaksi Negatif Satwa Liar Rabu 19 November 2025. Foot Dok --
NGARAS - Upaya mencegah dan menangani konflik antara manusia dan satwa liar kembali menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Lampung. Melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar) menggelar kegiatan Pembinaan Masyarakat/Satgas Terdampak Interaksi Negatif Satwa Liar serta Sharing Diskusi Mitigasi dan Penanganan Konflik Satwa, Rabu, 19 November 2025.
Acara yang dipusatkan di Balai Pekon Sukarame, Kecamatan Ngaras, itu dihadiri Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Ir. Zulhaidir, M.Si., Kepala Seksi Wilayah 3 Lampung BKSDA Bengkulu–Lampung, Itno Itoyo, S.Hut., M.Sc., Kepala UPTD KPH Pesbar, Dadang Trianahadi, S.P., M.M.
Hadir juga dalam kesempatan itu Kapolsek Bengkunat, Iptu Doni Dermawan Djunaidi, S.Psi., M.M., serta sekitar 50 peserta dari TNBBS, BKSDA, Satgas Penanggulangan Konflik Manusia–Satwa Liar, camat, peratin, Bhabinkamtibmas, Babinsa, WCS IP, hingga pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH).
Kepala UPTD KPH Pesbar, Dadang Trianahadi, menyampaikan bahwa Pesbar dikaruniai kekayaan alam yang menjadi habitat penting bagi berbagai satwa liar, termasuk gajah, harimau sumatra, dan primata. Namun, perkembangan wilayah dan dinamika pembangunan menimbulkan tantangan tersendiri.
“Batas antara kawasan manusia dan satwa semakin menipis. Masyarakat menghadapi perusakan kebun, gangguan ternak, bahkan ancaman keselamatan,” katanya.
Dijelaskannya, konflik satwa tidak bisa diselesaikan satu pihak saja. Ini tanggung jawab kolektif yang menuntut kolaborasi aktif dari pemerintah daerah, balai konservasi, aparat keamanan, dan masyarakat yang hidup berdampingan langsung dengan hutan. Menurutnya, kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara UPTD KPH Pesbar dan Kecamatan Ngaras. Selain pembinaan, pertemuan tersebut bertujuan mengidentifikasi titik rawan konflik, merumuskan strategi mitigasi, serta meningkatkan kapasitas penanganan cepat di lapangan.
“Kami berharap diskusi hari ini menghasilkan rencana aksi konkret dan berkelanjutan guna mewujudkan harmoni antara masyarakat Pesbar dan satwa liar,” jelasnya.
Kabid Perlindungan dan Konservasi Hutan, Zulhaidir, memaparkan bahwa wilayah Pesisir Barat dan Lampung Barat merupakan beranda terluar habitat satwa liar besar di lanskap Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Dalam beberapa tahun terakhir, interaksi negatif satwa, khususnya harimau, gajah, dan beruang madu, meningkat signifikan.
“Kerusakan hutan menyebabkan habitat satwa menyempit. Konflik makin sering dan menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, serta mengancam konservasi satwa dilindungi. Karena itu penanganannya harus terpadu, terprogram, dan melibatkan semua pihak,” jelas Zulhaidir.
Ia juga memaparkan data lapangan. Dalam rentang 2017–2022, terdapat 506 konflik satwa dengan manusia di kawasan TNBBS: 403 kasus melibatkan gajah, 109 beruang madu, dan 63 harimau sumatra. Sebagian besar kejadian berada di lanskap yang terhubung langsung dengan Pesbar dan Lampung Barat.
Konflik harimau sumatra disebut meningkat di sejumlah titik seperti Atar Sedangkek, Labu Way, dan Atar Way Balak. Petugas gabungan telah membentuk posko, memasang perangkap aman, dan mengamankan jalur pergerakan satwa untuk meminimalkan risiko. Sementara itu, konflik gajah dalam kurun 2021–2025 mencapai 35 kasus di Lampung Barat dan 14 kasus khusus di Pesisir Barat.
“Untuk membantu pemantauan, BBTNBBS memasang GPS collar pada dua individu gajah yang sering mendekati permukiman,” ungkapnya.
Zulhaidir menegaskan tiga pesan penting dalam mitigasi konflik. Pertama, masyarakat harus mandiri dalam mitigasi awal. Petugas tidak selalu dapat hadir dalam hitungan menit. Kemampuan mendeteksi, mencegah, dan merespons konflik secara aman sangat dibutuhkan. Kedua, kesiapsiagaan pekon harus diperkuat, mulai dari identifikasi jalur lintasan satwa, penataan kebun agar tidak menjadi sumber pakan, patroli bersama, hingga penyampaian laporan cepat ke instansi terkait.
“Ketiga, keselamatan manusia harus diutamakan tanpa mencederai satwa. Harimau dan gajah adalah satwa dilindungi. Penanganan konflik harus aman, terkendali, dan tidak merugikan kedua pihak. Masyarakat aman, satwa tetap hidup di habitatnya,” tegasnya.