Perempuan Seniman Tato di Korea Selatan, Menghadapi Tantangan Hukum dan Stigma Sosial

Perempuan Seniman Tato di Korea Selatan. Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co -Di Korea Selatan, menjadi seorang seniman tato, terutama bagi perempuan, bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya karena stigma sosial terhadap orang bertato, tetapi juga karena ketidakpastian hukum yang menyelimuti profesi ini.

Salah satu kisah yang mencuat adalah pengalaman menegangkan yang dialami oleh Narr, seorang seniman tato yang baru dua tahun berkecimpung di dunia tato. Dalam sebuah sesi tato, setelah meminta klien untuk memeriksa hasil karyanya di cermin, klien tersebut malah membuka resleting celananya tanpa mengenakan celana dalam. Narr merasa terkejut dan ketakutan, namun ia berusaha tetap tenang untuk menghindari konfrontasi lebih lanjut. Namun, ia juga merasa dilematis karena hukum Korea Selatan menganggap tato sebagai prosedur medis, yang berarti ia harus memiliki izin medis untuk bekerja, sebuah syarat yang tidak dimiliki oleh kebanyakan seniman tato non-medis.

Menurut keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan pada 1992, tato digolongkan sebagai prosedur medis, yang mengharuskan seniman tato untuk memiliki izin layaknya seorang dokter. Hal ini membuat para seniman tato, seperti Narr, yang tidak memiliki lisensi medis, menghadapi risiko besar. Jika terbukti melakukan tato tanpa izin medis, mereka bisa dikenakan hukuman hingga lima tahun penjara atau denda mencapai 50 juta won (sekitar Rp560 juta).

Meski begitu, beberapa pengadilan di Korea Selatan mulai mengubah sikap mereka terhadap profesi tato. Beberapa seniman tato non-medis berhasil dibebaskan dari tuduhan, dan undang-undang baru yang bertujuan melegalkan seniman tato non-medis sedang diajukan. Namun, Asosiasi Medis Korea (KMA) menentang keras usulan ini, dengan alasan bahwa tato dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti infeksi atau gangguan pada diagnosis medis.

Bagi banyak seniman tato di Korea Selatan, ketidakpastian hukum ini membuat pekerjaan mereka tidak stabil. Salah satunya adalah Banul, seorang seniman tato yang pernah menghadapi kasus hukum setelah kliennya menuntutnya atas hasil tato yang dianggap cacat. Banul akhirnya harus membayar denda meski tidak terbukti bersalah. Selain masalah hukum, seniman tato perempuan seperti Ahn Lina, yang memiliki lebih dari 300 tato, juga sering kali menghadapi pandangan negatif dari masyarakat. Lina, yang dulunya seorang influencer tato dengan ribuan pengikut di media sosial, mengungkapkan bahwa dia sering menerima pelecehan dan komentar kebencian terkait penampilannya yang penuh tato.

Sikap masyarakat Korea Selatan terhadap tato cenderung konservatif, dengan sekitar 60% warga negara tersebut memiliki pandangan negatif terhadap tato dan orang bertato. Hal ini menciptakan kesulitan bagi perempuan bertato, yang sering dianggap tidak sesuai dengan standar sosial yang berlaku, terutama dalam hal peran tradisional perempuan.

Beberapa seniman tato memilih untuk mencari pekerjaan di luar negeri, seperti Gong Greem, yang lebih dihargai sebagai seniman tato di Eropa dan Amerika Serikat daripada di Korea Selatan. Bagi mereka, bekerja di luar negeri memberikan kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas tanpa dibatasi oleh stigma dan hukum yang ada di tanah air.

Bagi Narr, perubahan hukum di Korea Selatan menjadi suatu harapan, meskipun ia merasa prosesnya berjalan sangat lambat. Saat ini, ia tengah mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain jika menjadi ibu, karena merasa khawatir tentang bagaimana masyarakat dan hukum Korea Selatan akan memandang profesinya dan kehidupannya sebagai seorang ibu bertato.

Kisah-kisah seperti yang dialami oleh Narr, Banul, dan Lina menunjukkan bahwa di balik seni tato, terdapat perjuangan panjang yang penuh tantangan, baik dari segi hukum maupun stigma sosial. Mereka terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai seniman, serta agar profesi mereka dapat diterima dengan lebih terbuka di masyarakat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan