Angka Kelahiran Menurun Drastis, Salah Satu Pulau di RI ini Terancam Krisis Penduduk
Salah satu pelabuhan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Foto/CNBC/ Reuters--
Radarlambar.bacakoran.co- Indonesia tengah menghadapi fenomena demografi yang menarik namun juga mengkhawatirkan, dengan penurunan signifikan angka kelahiran bayi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi merata dari Sabang hingga Merauke.
Namun, tiga provinsi di Kalimantan—Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur—tercatat mengalami penurunan angka kelahiran yang jauh lebih drastis dalam beberapa dekade terakhir. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan apa dampaknya bagi masa depan sosial dan ekonomi Indonesia?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran di ketiga provinsi tersebut mengalami penurunan tajam, dengan Angka Kelahiran Menurut Umur Ibu (ASFR) yang semakin kecil di hampir semua kelompok usia. Dalam 50 tahun terakhir, angka kelahiran di Kalimantan Timur, misalnya, mengalami penurunan lebih dari separuhnya.
Angka kelahiran kelompok usia 20-24 tahun di Kalimantan Timur turun dari 264 pada tahun 1980 menjadi hanya 92 pada tahun 2020. Fenomena ini juga tercatat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, yang menunjukkan pola serupa.
Penurunan angka kelahiran ini bukan hanya fenomena lokal, tetapi juga terjadi secara nasional. Data menunjukkan bahwa Total Fertility Rate (TFR) Indonesia, yang pada 1971 masih berada di angka 5,61, turun signifikan menjadi 2,18 pada 2020. Ini menggambarkan bahwa perempuan di Indonesia rata-rata melahirkan hanya dua anak sepanjang hidup mereka, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa dekade lalu.
Beberapa faktor penyebab penurunan angka kelahiran ini melibatkan perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan. Meningkatnya akses pendidikan bagi perempuan, perubahan pola pikir masyarakat terkait keluarga berencana, serta pesatnya urbanisasi yang membawa tantangan hidup kota menjadi pendorong utama. Pola hidup yang lebih mandiri, fokus pada karier, serta biaya hidup yang semakin tinggi membuat banyak pasangan memilih untuk memiliki anak lebih sedikit atau bahkan menunda kelahiran.
Namun, penurunan angka kelahiran ini bukan hanya masalah statistik. Dampaknya bisa sangat besar bagi masa depan Indonesia, terutama terkait dengan penuaan populasi. Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko mengalami penuaan populasi lebih cepat daripada yang diperkirakan. Dalam 20 hingga 30 tahun mendatang, dengan semakin sedikitnya generasi muda yang lahir, negara ini bisa menghadapi kekurangan tenaga kerja produktif.
Selain itu, peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dapat membebani sistem pensiun dan layanan kesehatan, yang akan semakin sulit diakses. Negara-negara yang sudah lebih dulu mengalami penuaan populasi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kini menghadapi tantangan serius dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi dan sosial mereka.
Untuk itu, Indonesia perlu segera mengantisipasi perubahan demografis ini dengan kebijakan yang lebih adaptif. Program-program yang mendukung keseimbangan antara karier dan keluarga, seperti insentif kelahiran, kebijakan cuti melahirkan yang lebih baik, serta subsidi pendidikan dan kesehatan anak, bisa menjadi solusi untuk memperlambat penurunan angka kelahiran.
Jika Indonesia tidak mengambil langkah strategis, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, kita akan melihat lebih banyak provinsi yang menghadapi "krisis penduduk" seperti yang kini terjadi di Kalimantan.(*)