Rencana Kontroversial Trump Terkait Gaza: Relokasi Warga Palestina dan "Riviera Timur Tengah"
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto Dok/Net --
Radarlambar.bacakoran.co -Pada 4 Februari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat pernyataan yang kontroversial terkait masa depan Gaza, wilayah yang telah lama dilanda konflik. Trump mengusulkan untuk merelokasi warga Palestina yang mengungsi di Gaza dan menempatkan mereka secara permanen di luar wilayah yang dilanda perang. Lebih jauh lagi, ia menyarankan agar Amerika Serikat mengambil alih "kepemilikan" Gaza untuk membangun kembali wilayah tersebut menjadi kawasan yang disebutnya sebagai "Riviera Timur Tengah."
Pernyataan Trump ini menuai kecaman keras dari sejumlah negara sekutu AS di Timur Tengah. Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab lainnya memperingatkan bahwa rencana untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza bisa memicu ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan tersebut. Mereka menilai, kebijakan ini akan memperburuk konflik yang sudah berkepanjangan dan merusak upaya yang telah dilakukan selama puluhan tahun untuk mencapai solusi dua negara antara Palestina dan Israel.
Reaksi Keras dari Negara-negara Arab
Arab Saudi, melalui Kementerian Luar Negeri, segera mengeluarkan pernyataan yang mengecam ide Trump. Menurut mereka, seruan untuk negara Palestina merdeka merupakan posisi yang "teguh dan tak tergoyahkan." Negara ini juga menegaskan bahwa meringankan penderitaan rakyat Palestina tetap menjadi prioritas, dengan komitmen bahwa Palestina akan tetap berpegang pada tanah mereka, tidak akan meninggalkan wilayah tersebut. Arab Saudi, yang tengah bernegosiasi dengan AS untuk kesepakatan pengakuan Israel, menekankan pentingnya membantu rakyat Palestina tanpa memaksa mereka untuk meninggalkan tanah mereka.
Trump Bersikeras dengan Rencananya
Meski mendapat penolakan luas, Trump tetap pada pendiriannya. Ia menegaskan bahwa relokasi Palestina dari Gaza adalah satu-satunya alternatif yang ada, karena waktu tiga hingga lima tahun yang dibutuhkan untuk rekonstruksi Gaza menurutnya terlalu lama. Trump bahkan berpendapat bahwa jika warga Palestina dapat dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan lebih baik, seperti rumah-rumah yang layak, mereka akan hidup lebih bahagia tanpa terancam konflik yang berlarut-larut.
Trump mengusulkan agar sekitar 1,8 juta warga Gaza dipindahkan ke negara-negara lain dan tanah Gaza kemudian diambil alih oleh AS untuk dibangun kembali dengan standar kelas dunia. Ia menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak hanya akan mengelola pembangunan kembali, tetapi juga mempertimbangkan kemungkinan pengiriman pasukan AS untuk mendukung proses tersebut.
Kontroversi dan Keputusan Masa Depan
Rencana Trump, yang dikenal sebagai pengusaha properti sebelum menjabat sebagai presiden, menunjukkan ambisinya untuk menerapkan pendekatan yang sangat berbeda dalam menangani konflik Gaza. Dengan iming-iming pembangunan wilayah Gaza menjadi tempat yang indah dan makmur, Trump mencoba menawarkan solusi yang menarik bagi warga Palestina, meskipun dengan mengorbankan hak mereka untuk tinggal di tanah yang mereka anggap suci.
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah, siapa yang memiliki otoritas untuk "mengambil alih" wilayah Gaza dan apakah ini akan berisiko lebih jauh menambah ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Rencana Trump juga berpotensi menyinggung hukum internasional dan dapat memperburuk hubungan antara AS dan negara-negara besar yang mendukung hak Palestina untuk memiliki negara merdeka.
Pada akhirnya, meskipun Trump mengusulkan ide yang provokatif, rencana ini masih harus menghadapi banyak tantangan besar, baik dari dalam negeri AS, sekutu internasional, maupun dari rakyat Palestina itu sendiri. Apakah ini akan menjadi kebijakan yang diambil atau hanya sekedar pernyataan kontroversial dari presiden yang dikenal karena pendekatannya yang tidak konvensional, hanya waktu yang akan menjawab. (*)