Jebloknya Setoran Pajak di Awal Tahun

Setoran pajak digital seperti dari pajak kripto, pinjol dan Netflix Cs mencapai Rp33,73 triliun per 28 Februari 2025. -FotoREUTERS-

Radarlambar.bacakoran.co - Penerimaan pajak Indonesia pada dua bulan pertama tahun 2025 menunjukkan penurunan signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa hingga Februari 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp187,8 triliun, atau sekitar 8,6 persen dari target yang ditetapkan. Ini merupakan penurunan drastis sebesar 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, di mana pada dua bulan pertama 2024, penerimaan pajak tercatat mencapai Rp269,02 triliun.

Angka ini mencerminkan kinerja ekonomi yang sedang mengalami tekanan, terutama terkait dengan kebijakan fiskal dan penurunan harga komoditas. Secara keseluruhan, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 tercatat mengalami defisit sebesar 0,13 persen atau sekitar Rp31,2 triliun per 28 Februari 2025. Pada periode tersebut, total belanja negara sudah mencapai Rp348,1 triliun, sementara pendapatan baru tercatat Rp316,9 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan penurunan tajam dalam penerimaan pajak Indonesia. Salah satunya adalah penurunan harga komoditas utama, seperti batu bara yang turun sebesar 11,8 persen, minyak yang anjlok 5,2 persen, dan nikel yang mengalami penurunan 5,9 persen secara year-on-year (yoy). Menurunnya harga-harga komoditas ini memengaruhi sektor-sektor yang mengandalkan ekspor bahan mentah, yang pada gilirannya menekan penerimaan negara.

Selain itu, masalah administratif terkait penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk Pajak Penghasilan (PPh) 21 dan relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri juga berkontribusi pada penurunan tersebut. Sistem pelaporan yang lebih kompleks, serta relaksasi pajak yang diberikan pada sektor-sektor tertentu, turut mengurangi jumlah penerimaan yang seharusnya masuk ke kas negara.

Direktur Ekonomi Center for Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga menyoroti dampak dari pengembalian lebih bayar pajak atau restitusi yang dibayarkan pada Januari 2025, yang mencatatkan jumlah yang signifikan, mencapai Rp265,67 triliun. Angka ini mengalami pertumbuhan 18,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal ini semakin memperburuk kondisi penerimaan pajak di awal tahun 2025.

Selain faktor-faktor ekonomi, Huda juga mengkritik sistem Coretax yang baru diterapkan dalam sistem perpajakan Indonesia. Dia menjelaskan bahwa gangguan yang terjadi pada sistem ini, khususnya dalam pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menyebabkan pelaku usaha menahan transaksi mereka selama periode pelaporan, terutama pada Januari 2025. Akibatnya, pengumpulan pajak menjadi terhambat, sehingga berkontribusi terhadap penurunan penerimaan negara.

Dalam konteks defisit APBN, Huda mengkhawatirkan bahwa angka defisit anggaran yang sudah mencapai 0,13 persen ini bisa semakin memburuk di akhir tahun, bahkan berpotensi melampaui batas aman 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai bagian dari upaya menutup defisit, pemerintah juga mencatatkan peningkatan utang yang cukup signifikan, yakni tumbuh 44,77 persen pada Januari 2025, dan bertambah 19,42 persen pada akhir Februari 2025. Jika kondisi ini terus berlanjut, pengelolaan utang di masa mendatang akan menghadapi tantangan yang semakin besar.

Di sisi lain, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, menyatakan bahwa penurunan tajam penerimaan pajak tidak bisa dipisahkan dari kebijakan populis yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurut Ronny, kebijakan seperti pemangkasan PPN untuk tiket pesawat mudik Lebaran 2025 dan berbagai insentif akhir tahun, seperti diskon properti dan insentif untuk kendaraan listrik, telah mengurangi penerimaan negara secara nyata. Kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun bertujuan untuk merangsang konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, namun berdampak negatif terhadap pemasukan pajak negara.

Menurut Ronny, kebijakan populis semacam ini lebih cenderung sebagai senjata politik, bukan sebagai senjata ekonomi atau fiskal yang berkelanjutan. Meskipun memiliki tujuan jangka pendek untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dampaknya terhadap penerimaan negara bisa sangat besar, terutama jika tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal yang lebih solid dan terukur.

Ronny juga mencatat bahwa penurunan penerimaan pajak ini sejalan dengan kontraksi yang terjadi pada beberapa sektor penting dalam perekonomian Indonesia, terutama sektor manufaktur dan jasa. Kontraksi ini membuat kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap pendapatan negara semakin menurun, memperburuk kondisi fiskal negara yang sedang tertekan.

Meskipun demikian, Ronny tetap optimistis bahwa kondisi ini bisa membaik dalam waktu dekat. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang telah mempengaruhi pasar global, dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan lonjakan harga komoditas, seperti batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan gas alam. Jika pemerintah bisa memaksimalkan peluang ini, maka potensi penerimaan negara bisa mengalami perbaikan signifikan di tengah kondisi global yang tidak menentu.

Secara keseluruhan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola fiskal negara pada awal tahun 2025. Penerimaan pajak yang anjlok, defisit anggaran yang terus melebar, dan lonjakan utang menjadi isu utama yang perlu ditangani oleh pemerintah. Sementara kebijakan populis yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto memberikan dampak langsung terhadap penerimaan negara, pemerintah masih memiliki peluang untuk memperbaiki kondisi ini melalui kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran dan pemanfaatan peluang dari sektor ekspor komoditas utama Indonesia.

Namun, dalam jangka panjang, pengelolaan fiskal yang hati-hati, transparan, dan berbasis pada kebijakan yang berkelanjutan sangat diperlukan agar Indonesia bisa keluar dari krisis fiskal ini dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.(*/adi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan