Koalisi Masyarakat Sipil Soroti RUU TNI, Khawatirkan Kembalinya Dwifungsi Militer

Ilustrasi pasukan TNI Angkatan Darat. -Foto-net.--
Radarlambar.bacakoran.co - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR pada 11 Maret 2025.
Menurut mereka, beberapa ketentuan dalam revisi tersebut berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer serta memperkuat peran TNI dalam ranah sipil, yang dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Koalisi yang terdiri dari Imparsial, Elsam, PBHI, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, HRWG, WALHI, KontraS, SETARA, hingga YLBHI menyatakan bahwa revisi ini tidak menunjukkan pembatasan peran militer di luar tugas pertahanan negara, melainkan justru memperluas cakupan keterlibatan TNI dalam urusan sipil.
Salah satu sorotan utama adalah ketentuan yang masih memperbolehkan perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil, bahkan dengan perluasan ke instansi seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurut mereka, pengaturan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI yang seharusnya telah dihapus sejak reformasi. Mereka menegaskan bahwa perwira aktif yang ingin menempati posisi di instansi pemerintahan sipil seharusnya mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas kemiliteran. Selain itu, koalisi juga meminta agar seluruh prajurit aktif yang saat ini berada di luar 10 lembaga yang diizinkan oleh Undang-Undang TNI untuk segera mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer.
Polemik lain yang mencuat adalah terkait dengan perluasan tugas operasi militer selain perang yang diatur dalam RUU tersebut. Salah satu yang menjadi perhatian adalah wacana keterlibatan TNI dalam penanganan narkotika. Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa langkah ini tidak tepat dan dapat membuka ruang bagi pendekatan yang lebih represif dalam menangani persoalan narkoba. Mereka berpandangan bahwa penanganan narkotika seharusnya tetap berada dalam koridor hukum dan kesehatan, bukan menjadi tugas militer yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Sementara itu, pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat diselesaikan sebelum DPR memasuki masa reses atau sebelum libur Lebaran pada 21 Maret 2025.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa perubahan dalam undang-undang ini difokuskan pada empat poin utama, yakni penguatan alutsista, penegasan batasan peran TNI dalam tugas nonmiliter, peningkatan kesejahteraan prajurit, serta pengaturan batas usia pensiun.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menanggapi kritik tersebut dengan menyatakan bahwa revisi ini tidak akan menggeser prinsip supremasi sipil di Indonesia. Menurutnya, TNI tetap berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mengedepankan profesionalisme.
Di sisi lain, KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menilai bahwa kekhawatiran mengenai kembalinya dwifungsi militer terlalu dilebih-lebihkan dan lebih bersifat politis.
Perdebatan terkait revisi UU TNI ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah, TNI, dan kelompok masyarakat sipil. Dengan target penyelesaian dalam waktu dekat, isu ini diprediksi akan terus menjadi sorotan di tengah dinamika politik nasional.(*/edi)