Jemparingan, Warisan Panahan Hati ala Ksatria Jawa

Tradisi Jemparingan / Foto---Net--

Terdapat dua pandangan terkait asal-muasal jemparingan. Versi pertama menyebutkan bahwa seni ini diciptakan sebagai sarana untuk membina karakter rakyat agar memiliki semangat kepahlawanan.

Sementara versi lainnya meyakini bahwa jemparingan merupakan hasil adaptasi dari aktivitas berburu dan strategi bertahan hidup para leluhur Mataram.

Yang membuat jemparingan begitu istimewa adalah pendekatannya yang tidak hanya mengandalkan penglihatan, tetapi juga perasaan. 

Filosofi yang dikenal sebagai memanah rasa mengajarkan bahwa dalam menembak sasaran, seorang pemanah hendaknya menggunakan kepekaan hati, bukan sekadar mata.

Konsep ini sejalan dengan falsafah Jawa pamenthanging gandewa pamenthanging cipta—membentang busur seiring dengan fokus pikiran pada satu tujuan. 

Empat nilai utama yang harus tertanam dalam diri setiap pemanah adalah sawiji (fokus penuh), greget (semangat membara), sengguh (keyakinan diri), dan ora mingkuh (komitmen dan tanggung jawab).

Keempat prinsip ini bukan hanya berlaku dalam jemparingan, tetapi juga menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Peralatan yang digunakan dalam jemparingan pun memiliki kekhasan tersendiri.

Busur atau gandewa biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu atau kayu tertentu, sementara tali busurnya dirangkai dari serat alami.

Anak panah terdiri atas beberapa bagian penting, yakni deder (batang utama), bedor (mata panah), wulu (bulu penyeimbang), dan nyenyep (pangkal). 

Sasaran tembak, yang disebut bandulan, memiliki bentuk silinder kecil dengan tiga warna utama: merah, kuning, dan putih masing-masing melambangkan bagian tubuh manusia secara simbolis.

Di bawahnya terdapat bola kecil yang jika terkena justru mengurangi nilai, memberikan tantangan tersendiri bagi pemanah. Setiap busur dan anak panah dibuat khusus sesuai dengan postur tubuh pemiliknya.

Peralatan ini bersifat personal dan tidak bisa digunakan secara bergantian, sebab keseimbangan dan kenyamanan menjadi aspek utama dalam praktik jemparingan.

Di masa kini, jemparingan tidak hanya dilestarikan sebagai bagian dari budaya keraton, melainkan juga dikembangkan dalam dunia pariwisata.

Salah satu tempat yang menghadirkan pengalaman autentik ini adalah Desa Wisata Tinalah di Yogyakarta. 

Di kawasan pegunungan Menoreh yang sejuk dan asri, pengunjung diajak menyelami filosofi jemparingan secara langsung. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan