Gelombang PHK Massal Guncang Industri Media di Indonesia

Kompas TV menjadi salah satu perusahaan media yang lakukan lay off besar. Foto : Pinterest--
Radarlambar.bacakoran.co- Industri media di Indonesia tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mencerminkan tantangan berat akibat kondisi ekonomi yang memburuk dan perubahan lanskap industri digital.
Gelombang PHK ini tidak hanya memengaruhi perusahaan besar seperti Kompas TV, yang baru-baru ini menghentikan siaran televisi dan merumahkan puluhan karyawan, tetapi juga sejumlah perusahaan media lainnya.
Hingga 2025, setidaknya 12 perusahaan media dan industri pendukungnya telah melakukan PHK massal. Kompas TV, sebagai salah satu yang paling disorot, mengundang reaksi keras dari publik karena dikenal sebagai media televisi berita dengan reputasi yang baik.
Tidak hanya itu, ANTV juga diberitakan memecat 57 karyawan di lini produksi. Lembaga penyiaran publik negara, seperti TVRI dan RRI, tak luput dari kebijakan efisiensi ini dengan memutus hubungan kerja dengan kontributor berita di beberapa daerah.
Sementara itu, perusahaan media swasta lainnya seperti NET TV juga melakukan perampingan karyawan setelah akuisisi oleh PT MD Entertainment Tbk. Dalam restrukturisasi internal tersebut, sejumlah pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan. Tren serupa juga terjadi di sektor media digital dan media penyiaran publik, menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh industri media sangat beragam.
Tidak hanya sektor media, gelombang PHK juga merambah sektor industri manufaktur dan elektronik. Sritex Group yang mengalami kebangkrutan pada Oktober 2024 harus memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari 11.000 karyawan.
PT Sanken Indonesia menutup pabrik di Bekasi dan merumahkan 459 pekerja, sementara Yamaha Music Indonesia berencana menutup dua fasilitas produksinya, yang diperkirakan akan berdampak pada tenaga kerja mereka. Selain itu, perusahaan seperti PT Aditec Cakrawityata di Tangerang, PT Karya Mitra Budi Sentosa di Pasuruan, serta PT Duta Cepat Pakar Perkasa di Surabaya juga turut melakukan PHK massal.
Jumlah karyawan yang terdampak oleh PHK ini sangat besar, mencapai ribuan orang. Fenomena ini menjadi alarm bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia, khususnya sektor media yang tengah tertekan oleh perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin beralih ke platform digital.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap langkah efisiensi semacam ini. AJI mengingatkan bahwa jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan perlindungan yang jelas bagi pekerja, langkah ini bisa memperburuk ekosistem media secara keseluruhan. Selain merugikan kesejahteraan pekerja media, PHK massal ini berpotensi menurunkan kualitas konten jurnalistik yang disampaikan kepada masyarakat.
Pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan dan Kominfo, didorong untuk memberikan perhatian lebih pada situasi ini. Tidak hanya memastikan hak-hak pekerja yang terkena PHK terpenuhi—seperti pesangon, jaminan sosial, dan pendampingan hukum—tetapi juga perlu menyediakan solusi jangka panjang, seperti pelatihan keterampilan ulang dan penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan yang lebih relevan dengan dinamika industri media digital.
Dalam menghadapi situasi yang semakin kompleks ini, industri media nasional berada di persimpangan jalan. Untuk itu, diperlukan strategi yang matang, adaptasi teknologi yang cepat, serta perlindungan yang lebih baik terhadap sumber daya manusia agar sektor ini tetap bisa bertahan dan menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi.(*)