Trump Diduga Rancang Pemindahan Massal Warga Palestina ke Libya, Gedung Putih Bantah

Militer Israel masih terus melancarkan serangan di Jalur Gaza.//Foto: REUTERS.--

Radarlambar.bacakoran.co- Di tengah meningkatnya serangan Israel ke Jalur Gaza, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dilaporkan tengah mempertimbangkan rencana kontroversial: merelokasi secara permanen hingga satu juta warga Palestina dari Gaza ke Libya. Informasi ini pertama kali diungkapkan oleh NBC News dan dikutip oleh media internasional Russia Today pada Senin, 19 Mei 2025.

Rencana tersebut disebut-sebut sebagai bagian dari strategi yang sedang dipertimbangkan serius di Gedung Putih. Sebagai imbalan atas kesediaan Libya menerima warga Palestina, pemerintahan Trump disebut siap mencairkan dana senilai US\$ 30 miliar milik Libya yang telah dibekukan selama lebih dari satu dekade.

Namun hingga kini, tidak ada kepastian mengenai kapan atau bagaimana rencana pemindahan massal itu akan dilakukan. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa rincian teknisnya masih sangat tidak jelas.

Menyikapi laporan ini, seorang juru bicara pemerintahan Trump membantah dengan tegas. Ia menyatakan bahwa situasi keamanan di Libya saat ini tidak memungkinkan untuk pelaksanaan rencana semacam itu, dan menyebut laporan NBC sebagai tidak akurat serta tidak masuk akal.

Sejak kembali menjabat pada Januari lalu, Trump beberapa kali melontarkan wacana tentang perubahan radikal di Gaza. Ia pernah mengusulkan agar wilayah itu diubah menjadi kawasan peristirahatan di sepanjang Laut Mediterania.

Gagasan tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai negara Arab, yang menilainya sebagai pelanggaran hukum internasional dan ancaman terhadap stabilitas regional, sekaligus mengabaikan hak warga Palestina untuk tetap tinggal di tanah leluhur mereka.

Sementara itu, situasi politik dan keamanan di Libya masih jauh dari stabil. Negara tersebut terus bergolak sejak tergulingnya pemimpin lama Muammar Gaddafi pada 2011. Kini, dua pemerintahan yang saling bersaing—Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) di Tripoli dan Aparat Pendukung Stabilitas (SSA) yang beroperasi di Tobruk—terus memperebutkan kendali. Ketegangan meningkat setelah Abdulghani al-Kikli, pemimpin SSA yang dikenal sebagai Ghaniwa, tewas dibunuh awal pekan ini, memicu bentrokan di ibu kota.

Di tengah kekacauan tersebut, Departemen Luar Negeri AS telah mengeluarkan peringatan keras agar warga Amerika menghindari perjalanan ke Libya karena tingginya risiko kejahatan, konflik bersenjata, dan kerusuhan sipil. Kondisi ini semakin memperkuat anggapan bahwa rencana relokasi besar-besaran ke Libya bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berbahaya.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan