Biaya Penerbangan Meroket, Pemerintah Kaji Ulang Formulasi Tarif Tiket Pesawat

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Lukman F. Laisa saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR RI. Tangkapan Layar Youtube DPR RI-Foto Dok---
Radarlambar.bacakoran.co - Lonjakan biaya operasional menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya harga tiket pesawat domestik. Kementerian Perhubungan mengungkapkan, struktur komponen biaya penerbangan telah berubah drastis jika dibandingkan dengan sebelum pandemi, khususnya pada 2019. Komponen maintenance repair overhaul (MRO) mengalami kenaikan signifikan, hampir tiga kali lipat dari sebelumnya.
Data Ditjen Perhubungan Udara mencatat, pada 2019, biaya MRO hanya menyumbang sekitar 7,3 persen dari total biaya operasional, namun pada 2025 angka tersebut melonjak menjadi 20,14 persen. Kenaikan ini turut mendorong naiknya kebutuhan pembiayaan maskapai dalam melakukan reaktivasi armada pascapandemi.
Di sisi lain, biaya avtur juga mencatat kenaikan, dari 27,7 persen menjadi 28,3 persen. Biaya penyusutan mengalami lonjakan dari 3,5 persen menjadi 5,44 persen. Sementara itu, beberapa komponen justru menurun, seperti sewa pesawat yang turun dari 22,9 persen menjadi 12,19 persen dan biaya umum serta organisasi yang turun dari 12 persen menjadi 8,76 persen.
Kondisi ini mendorong Kemenhub untuk mengevaluasi ulang formula perhitungan tarif angkutan udara yang selama ini masih mengacu pada regulasi lama, yakni Permenhub Nomor 20 Tahun 2019 dan Kepmenhub Nomor 106 Tahun 2019. Formula yang berlaku saat ini dianggap belum lagi mencerminkan dinamika operasional yang terjadi, baik dari sisi struktur biaya maupun pola layanan penerbangan pascapandemi.
Dirjen Perhubungan Udara, Lukman F Laisa, menyampaikan bahwa evaluasi tarif dilakukan dengan mempertimbangkan jarak, waktu tempuh, serta klasifikasi pelayanan berdasarkan tipe pesawat dan model bisnis maskapai. Untuk mendukung konektivitas wilayah, kebijakan diferensiasi tarif hanya akan diberlakukan bagi pesawat tipe jet, sementara pesawat propeller akan didorong dengan kebijakan tarif yang lebih mendukung.
Kenaikan biaya penerbangan juga terlihat dari rute-rute utama seperti Cengkareng-Denpasar. Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani Panjaitan, mengungkapkan bahwa pada 2019 biaya operasional untuk satu kali penerbangan di rute tersebut mencapai Rp194 juta. Kini, angkanya meningkat menjadi Rp269 juta, atau naik 38 persen. Peningkatan terbesar berasal dari biaya MRO, bahan bakar, serta pertumbuhan upah minimum yang mencapai 35 persen sejak 2019.
Meski demikian, pemerintah memiliki rekam jejak dalam upaya menekan harga tiket pada masa tertentu. Selama periode Lebaran 2025, sejumlah kebijakan diterapkan, seperti pemotongan tarif Pelayanan Jasa Penumpang (PJP2U) dan Pelayanan Jasa Pendaratan (PJP4U) sebesar 50 persen, serta pengoperasian bandara selama 24 jam. Dukungan juga datang dari PT Pertamina Patra Niaga yang memberikan potongan harga avtur di 37 bandara, serta pemberlakuan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 6 persen selama masa angkutan Lebaran berdasarkan PMK Nomor 18 Tahun 2025.
Dengan kompleksitas tantangan ini, evaluasi menyeluruh terhadap struktur tarif angkutan udara menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah dihadapkan pada tugas menjaga keseimbangan antara keberlangsungan industri penerbangan dan keterjangkauan harga tiket bagi masyarakat. Evaluasi yang tengah dilakukan diharapkan menghasilkan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi operasional dan mampu mendorong pemulihan serta konektivitas nasional secara berkelanjutan.(*/edi)