Kontroversi Pemasangan Stairlift di Candi Borobudur untuk Kunjungan Presiden Macron dan Prabowo

Candi Borobudur. foto net--
Radarlambar.bacakoran.co - Rencana pemasangan alat bantu naik tangga berupa stairlift di Candi Borobudur yang disiapkan untuk memfasilitasi kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Prabowo Subianto menuai beragam respons. Sebelumnya, isu tentang eskalator yang akan dipasang di situs warisan dunia ini sempat menimbulkan kekhawatiran masyarakat, terutama karena istilah “eskalator” identik dengan perangkat di mal-mal yang dianggap dapat merusak struktur candi.
Pembina Parisadha Wajrayana Kasogatan, Upashaka Pandhita Tarra Lozhang, menyampaikan kekhawatirannya jika memang eskalator seperti di pusat perbelanjaan yang menaiki berdiri akan dipasang, karena dikhawatirkan akan merusak susunan batu candi yang tersusun dengan teknik susun kunci yang unik dan rentan terhadap perubahan struktur. Namun, ia juga memahami apabila keputusan akhirnya berada di tangan pemerintah.
Sebagai alternatif, Tarra menawarkan dua solusi yang dinilai lebih ramah terhadap situs bersejarah ini. Pertama, menggunakan tandu kenegaraan seperti yang biasa digunakan para biksu lansia saat ritual keagamaan di Borobudur, yaitu digendong oleh beberapa orang. Kedua, menutup tangga dengan papan kayu agar kursi roda bisa didorong naik turun dengan aman, meski memang medan Borobudur lebih curam dibanding situs serupa seperti Angkor Wat di Kamboja dan Pagoda Shwedagon di Myanmar.
Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan dari UGM, Ashar Saputra, menjelaskan bahwa stairlift yang dimaksud merupakan alat berupa kursi bergerak di atas rel yang dirancang hanya untuk mengangkut satu orang, bukan eskalator untuk banyak orang. Pemasangannya pun tidak menggunakan pengecoran atau paku pada batu candi, melainkan dudukan yang dipasang dengan lapisan busa dan tumpukan kayu untuk menjaga agar tidak merusak struktur asli.
Ashar menambahkan bahwa pemasangan alat tersebut diawasi ketat oleh tim UNESCO untuk memastikan perlindungan situs tetap terjaga. Alat seperti stairlift sendiri sudah lazim digunakan di luar negeri untuk membantu orang dengan keterbatasan fisik naik turun tangga, dan harapannya sistem ini dapat juga membantu para biksu lansia yang beribadah di Borobudur, sehingga tidak hanya menguntungkan tamu negara tapi juga umat Buddha sendiri.
Sampai saat ini, pihak-pihak terkait masih berupaya mencari jalan tengah yang menjaga kepentingan negara sekaligus melindungi kelestarian warisan budaya dunia ini tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti. (*)