Hamas Ajukan Balasan: Gencatan Senjata Tak Bisa Tanpa Syarat

Persiapan Hamas untuk Melanjutkan Pertempuran di Gaza dengan Merekrut Ribuan Tentara. Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co - Ketegangan di Jalur Gaza kembali memasuki babak penting. Hamas, kelompok militan yang selama berbulan-bulan terlibat konflik dengan Israel, telah menyampaikan respons terhadap proposal gencatan senjata yang dirancang oleh utusan Amerika Serikat, Steve Witkoff. Respons itu diserahkan melalui jalur diplomatik yang melibatkan Mesir dan Qatar sebagai mediator.

Namun, respons Hamas bukan sekadar jawaban ya atau tidak. Di dalamnya, kelompok tersebut menyampaikan daftar tuntutan yang mencerminkan garis keras: penghentian permanen operasi militer, penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah Gaza, dan jaminan kelangsungan pengiriman bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina.

Sebagai bagian dari kerangka tawaran, Hamas juga mengusulkan pertukaran: sepuluh sandera Israel akan dibebaskan, dan delapan belas jenazah diserahkan, dengan imbalan pembebasan sejumlah tahanan Palestina. Meskipun demikian, tidak ada indikasi bahwa Hamas menyetujui seluruh isi proposal secara penuh. Sikap mereka lebih terlihat sebagai upaya menegosiasikan ulang isi kesepakatan berdasarkan prioritas internal mereka.

Langkah ini, menurut pengamat, mencerminkan manuver politik yang hati-hati—mencoba menunjukkan keterbukaan terhadap diplomasi, namun tetap menjaga posisi tawar. Hamas mengklaim keputusan itu lahir dari musyawarah nasional dan perasaan tanggung jawab terhadap penderitaan warga Gaza.

Di pihak lain, reaksi dari Israel menunjukkan ketegangan tetap tinggi. Seorang pejabat pemerintah menyebut bahwa Hamas telah menolak proposal dan justru mengajukan versi baru yang berisi syarat tambahan, khususnya terkait gencatan senjata permanen. Bagi Israel, proposal dari utusan AS seharusnya diterima tanpa perubahan, sebuah sikap yang mencerminkan pendekatan tanpa kompromi.

Situasi ini menunjukkan betapa rumitnya jalan menuju perdamaian di Gaza. Meski ada celah diplomasi, kedua pihak tampaknya masih berjaga dalam posisi keras masing-masing, sementara rakyat sipil terus menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Pertanyaannya kini: adakah titik temu yang benar-benar mungkin? (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan