Stonehenge: Jejak Batu yang Hilang dan Misteri yang Belum Usai

Stonehenge: Jejak Batu yang Hilang dan Misteri yang Belum Usai. Foto/net--
Radar;lambar.bacakoran.co -Jika Anda berdiri di tengah Stonehenge pada saat matahari terbenam di pertengahan musim dingin, sesuatu yang magis akan terjadi. Di antara batu Heel Stone dan lingkaran megalit, cahaya mentari perlahan tenggelam tepat melalui jendela batu yang terbentuk dari dua batu tegak dan satu balok batu di atasnya. Seolah-olah Stonehenge "menelan" matahari—sebuah pertunjukan alam yang menakjubkan dan penuh misteri.
Tapi pemandangan hari ini hanya sisa bayangan dari keagungan masa lalu.
Sekitar 4.500 tahun yang lalu, panorama titik balik matahari ini bahkan lebih megah. Enam pasang batu vertikal dulu berdiri tegak di garis pandang matahari terbenam, membingkai cahaya yang menghilang dalam siluet yang sempurna. Kini, yang tersisa hanya satu batu—Batu 56—dengan tonjolan tak berguna di atasnya, bekas dudukan balok batu yang kini hilang.
Kemana perginya semua batu itu?
Pertanyaan itu menghantui para arkeolog selama berabad-abad. Lubang-lubang kosong di sekitar lingkaran utama menjadi bukti bisu bahwa banyak batu telah hilang. Beberapa diyakini dicabut, dihancurkan, atau bahkan dipindahkan jauh dari lokasi.
Dalam penggalian tahun 1979, arkeolog Mike Pitts menemukan sebuah lubang besar di samping Heel Stone. Di dasar lubang, jejak kapur yang hancur menandakan berat batu yang pernah berdiri di sana. Ini memperkuat keyakinan bahwa Stonehenge dahulu jauh lebih kompleks dibanding yang kita lihat sekarang.
Rekonstruksi atau ilusi?
Antara tahun 1901 hingga 1964, pemerintah Inggris merestorasi banyak bagian Stonehenge karena khawatir batu-batu besar itu akan tumbang. Beberapa batu yang miring ditegakkan kembali, yang jatuh dipasang ulang, dan yang rapuh disangga dengan beton. Tampilan Stonehenge yang sekarang sebenarnya hasil dari upaya menyelamatkan situs agar tetap seperti yang digambarkan arsitek John Wood pada tahun 1740.
Namun, penggalian-penggalian bersamaan dengan restorasi itu justru mengungkap sisi lain dari monumen ini—Stonehenge pernah lebih besar, dan susunannya tak sesederhana yang kita kira.
Petunjuk dari lubang tua dan batu kecil
Lubang-lubang yang kini dikenal sebagai "Lubang Aubrey" semula dianggap hanya cekungan biasa. Tapi semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa lubang-lubang itu dulunya berisi megalit kecil yang disebut bluestone. Batu ini berbeda dari sarsen—batu pasir lokal yang keras—karena berasal dari Wales barat daya dan lebih lunak.
Lebih mengejutkan lagi, jejak pengunjung masa lampau ikut mengubah wajah Stonehenge. Di abad ke-19, orang-orang bisa menyewa palu untuk memecah batu dan membawa pulang pecahannya sebagai suvenir. Batu-batu yang kini tampak bulat dan tidak beraturan, seperti Slaughter Stone, bisa jadi dulunya berdiri tegak seperti rekan-rekannya, sebelum dirusak dan dibiarkan tergeletak.
Batu altar dari negeri jauh
Di tengah monumen, terdapat Batu Altar yang selama ini diyakini berasal dari Wales. Namun, penelitian terbaru pada 2024 membalikkan anggapan itu. Dengan teknologi geologi canggih, tim peneliti menemukan bahwa batu itu berasal dari Skotlandia timur laut—lebih dari 800 km jauhnya. Fragmen kecil batu itu telah berkeliling dunia, dari museum Inggris hingga laboratorium Australia, sebelum akhirnya mengungkap asal-usulnya.
Apa yang sebenarnya terjadi di Stonehenge?
Mungkinkah sebagian batu hilang karena pecah saat zaman Romawi, atau bahkan lebih awal? Apakah benar ada yang percaya batu-batu itu punya kekuatan penyembuhan sehingga dicuri dan dihancurkan?
Sampai hari ini, tak ada satu pun batu sarsen yang diketahui berada di luar situs itu. Tapi blue stone? Pernah ditemukan di kebun milik seorang penulis terkenal yang tinggal dekat Stonehenge. Batu itu kini ada di museum—dan mungkin pernah berdiri di tengah monumen kuno tersebut. (*)