Sri Mulyani Ungkap Sebab Pekerja Bergaji Rp3,5 Juta Diberi Rp600 Ribu

Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan alasan pemerintah memberikan bantuan subsidi upah (BSU) senilai Rp600 ribu untuk periode Juni 2025 dan Juli 2025. Foto CNN Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co - Pemerintah kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk periode Juni dan Juli 2025, senilai total Rp600 ribu per pekerja. Program ini menjadi bagian dari strategi fiskal dalam menjaga daya beli masyarakat kelas pekerja di tengah gejolak ekonomi global dan tekanan domestik terhadap sektor ketenagakerjaan.
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa keputusan ini tidak semata-mata karena tekanan ekonomi, melainkan juga bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin keberlanjutan konsumsi masyarakat lapisan bawah. Seiring dengan melemahnya pertumbuhan global dan ketidakpastian akibat ketegangan geopolitik, perekonomian Indonesia menghadapi tantangan eksternal yang signifikan. Dampaknya terasa hingga ke dalam negeri, khususnya sektor industri padat karya yang menjadi penyangga utama tenaga kerja muda dan berupah rendah.
BSU menyasar pekerja bergaji maksimal Rp3,5 juta atau yang berada pada batas upah minimum provinsi. Dalam skema ini, sekitar 14 juta pekerja menjadi target utama. Pemerintah berharap bantuan tersebut memberi ruang bernapas bagi kelompok pekerja yang terdampak langsung oleh tekanan harga barang dan stagnasi sektor riil.
Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan keterampilan dan kualitas tenaga kerja Indonesia. Meskipun jumlah angkatan kerja masih tinggi, sebagian besar di antaranya masuk kategori tenaga kerja muda yang belum terasah keterampilannya. Di sisi lain, banyak dari mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah, yang sejak dini telah mengalami hambatan dalam pemenuhan gizi dan akses pendidikan yang layak.
Program BSU lantas dipadukan dengan kebijakan besar lainnya seperti Makan Bergizi Gratis dan Sekolah Rakyat, dua program strategis yang dirancang untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang. Pemerintah menyadari bahwa masalah produktivitas bukan hanya soal lapangan kerja, melainkan juga berkaitan erat dengan kesehatan dasar, asupan gizi sejak masa balita, serta kualitas pendidikan sejak usia dini.
Kebijakan BSU pun dirancang dengan pendekatan sektoral. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal melakukan identifikasi terhadap sektor-sektor yang paling terdampak oleh perlambatan global, termasuk industri tekstil, manufaktur ringan, serta sektor ekspor yang terdampak perang tarif global. Dari sinilah kemudian prioritas alokasi subsidi disusun agar tetap tepat sasaran dan tidak membebani fiskal secara berlebihan.
Meski begitu, tantangan ke depan masih besar. Ketidakpastian global, termasuk perubahan kebijakan perdagangan Amerika Serikat dan konflik geopolitik di beberapa kawasan, berpotensi memperlambat pertumbuhan Indonesia di bawah 5 persen pada 2025. Oleh karena itu, program BSU menjadi bagian dari langkah antisipatif agar konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan tetap terjaga.
Di tengah ruang fiskal yang terbatas, pemerintah tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian, namun tidak mengabaikan kebutuhan langsung masyarakat. Kombinasi antara stimulus jangka pendek seperti BSU dan investasi jangka panjang di bidang gizi dan pendidikan menunjukkan adanya keseimbangan antara strategi perlindungan sosial dan pembangunan sumber daya manusia.
Dengan mengintegrasikan bantuan langsung tunai dan penguatan fondasi tenaga kerja masa depan, pemerintah berharap bisa menjaga stabilitas sosial dan ekonomi nasional, sekaligus membangun daya saing tenaga kerja Indonesia dalam jangka panjang. (*/edi)