Kuota LPG 3 Kg Terancam Jebol, Pemerintah Susun Ulang Skema Subsidi

Kementerian ESDM memperkirakan kuota penggunaan LPG 3 Kilogram (bakal jebol tahun ini, atau melebihi target yang ditetapkan dalam APBN 2025. Ilustrasi.CNN Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan bahwa kuota penggunaan liquefied petroleum gas (LPG) bersubsidi ukuran 3 kilogram (Kg) akan melampaui batas alokasi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Hal ini terungkap dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI yang digelar Rabu, 2 Juli 2025.
Berdasarkan proyeksi terbaru yang disampaikan kepada parlemen, konsumsi LPG 3 Kg tahun ini diperkirakan mencapai 8,36 juta metrik ton (MT). Angka tersebut melampaui kuota yang ditetapkan dalam APBN 2025 sebesar 8,17 juta MT. Bahkan outlook konsumsi tahun ini juga melampaui proyeksi awal untuk RAPBN 2026 yang dipatok pada angka 8,31 juta MT.
Kondisi ini menunjukkan tekanan yang semakin besar terhadap anggaran subsidi energi, terutama untuk komoditas yang sangat sensitif seperti LPG 3 Kg yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah menyadari bahwa penyimpangan distribusi dan konsumsi LPG bersubsidi masih menjadi persoalan utama dalam pengelolaan subsidi energi.
Sebagai bentuk respon terhadap ancaman jebolnya kuota, pemerintah berencana mengubah pendekatan dalam penyaluran subsidi LPG. Kementerian ESDM bersama kementerian dan lembaga terkait tengah merancang skema baru yang lebih terfokus kepada penerima manfaat (targeted subsidy), bukan lagi bersifat barang subsidi terbuka (open loop). Transformasi ini akan dilakukan dengan mengintegrasikan sistem distribusi LPG 3 Kg dengan data penerima manfaat berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), hasil pendataan yang telah dikumpulkan sejak tahun lalu melalui sistem digitalisasi agen dan pengecer.
Selain itu, pemerintah juga sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menjadi landasan hukum perubahan pola subsidi tersebut. Salah satu wacana yang mencuat dalam pembahasan tersebut adalah penetapan skema harga tunggal untuk distribusi LPG subsidi ke berbagai wilayah di Indonesia. Tujuannya adalah untuk meminimalkan potensi penyimpangan harga di tingkat distribusi bawah yang selama ini kerap terjadi akibat disparitas harga antarwilayah.
Dalam rangka implementasi kebijakan baru ini, aspek kesiapan infrastruktur, akurasi data penerima, serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat menjadi pertimbangan utama. Pemerintah berupaya agar transformasi subsidi tidak menimbulkan gejolak di lapangan, terutama mengingat LPG 3 Kg adalah kebutuhan pokok yang langsung berkaitan dengan pengeluaran rumah tangga miskin dan pelaku usaha mikro.
Kementerian ESDM menegaskan bahwa selain LPG, subsidi tetap akan dialokasikan untuk jenis energi lain seperti solar, minyak tanah, dan bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu. Namun penyalurannya akan terus disesuaikan agar lebih tepat sasaran dan tidak membebani fiskal negara secara berlebihan.
Dari sisi pengawasan, DPR mendorong adanya pembenahan menyeluruh dalam tata kelola subsidi energi, termasuk digitalisasi distribusi dan peningkatan koordinasi lintas sektor agar ketepatan sasaran bisa tercapai. Sejumlah legislator juga mengingatkan pentingnya memastikan bahwa reformasi subsidi ini tidak meminggirkan hak masyarakat miskin atas energi murah dan terjangkau.
Dengan tekanan konsumsi yang meningkat, serta struktur subsidi yang masih belum ideal, keberhasilan transformasi subsidi LPG akan menjadi uji kredibilitas kebijakan energi nasional dalam lima tahun ke depan.(*/edi)