Gaduh PPATK Blokir 31 Juta Rekening Nganggur, Dicabut Usai Viral

PPATK menjadi sorotan publik sepekan terakhir karena memblokir 31 juta rekening menganggur alias dormant. CNN Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co— Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir jutaan rekening dormant atau rekening tidak aktif menjadi sorotan publik sepanjang pekan ini. Meskipun pemblokiran telah dimulai sejak 15 Mei 2025, perhatian masyarakat meningkat setelah sejumlah nasabah mengaku mengalami pembekuan rekening tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Melalui unggahan resmi di akun Instagram @ppatk_indonesia pada Jumat (25/7), PPATK menyatakan bahwa langkah pembekuan dilakukan untuk melindungi sistem keuangan nasional dan mencegah penyalahgunaan rekening oleh pihak tidak bertanggung jawab. Mereka merujuk pada kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam pernyataan tersebut, PPATK menegaskan bahwa dana nasabah tetap aman, dan masyarakat yang merasa dirugikan bisa mengajukan keberatan melalui formulir daring di tautan bit.ly/FormHensem. Proses verifikasi terhadap pengajuan keberatan ini melibatkan pihak bank dan PPATK, dengan estimasi waktu antara lima hingga dua puluh hari kerja. Apabila tidak ditemukan indikasi tindak pidana, maka rekening akan dibuka kembali.
Kemudian, pada Selasa (29/7), PPATK mengumumkan bahwa pihaknya menemukan sekitar 140 ribu rekening yang tidak aktif selama lebih dari satu dekade, dengan total dana mencapai Rp428,61 miliar. Temuan ini memperkuat alasan lembaga tersebut untuk memperluas tindakan pemblokiran. Rekening-rekening dormant disebut berisiko tinggi karena kerap dimanfaatkan dalam kejahatan finansial, termasuk sebagai wadah dana hasil tindak pidana.
Sehari setelah pengumuman itu, PPATK menyatakan telah membekukan 31 juta rekening dormant secara nasional. Nilai dana yang terkandung di dalamnya ditaksir mencapai Rp6 triliun. Namun, PPATK belum memberikan rincian berapa banyak dari rekening tersebut yang terindikasi bermasalah secara hukum.
Langkah tersebut sempat menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Banyak nasabah mengaku tidak mendapat pemberitahuan sebelumnya terkait pemblokiran, padahal beberapa dari mereka masih memiliki akses terbatas atau tidak mengetahui bahwa rekening mereka masuk kategori dormant.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kemudian dipanggil ke Istana oleh Presiden Prabowo Subianto pada Kamis (31/7), menyusul kekhawatiran publik yang terus berkembang. Sehari berselang, PPATK menyatakan telah membuka kembali 28 juta rekening dari total 31 juta yang sebelumnya diblokir. Namun, tidak dijelaskan apakah proses verifikasi terhadap rekening-rekening itu telah selesai dilakukan sepenuhnya. Nasib 3 juta rekening sisanya pun masih belum jelas.
Sementara itu, kritik datang dari kalangan pakar ekonomi. Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J. Rachbini, menilai bahwa PPATK telah melampaui kewenangannya. Menurutnya, sebagai lembaga intelijen keuangan, PPATK seharusnya hanya berperan dalam menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum, bukan mengambil tindakan pembekuan secara sepihak.
Ia menyebut kebijakan tersebut mencerminkan kurangnya profesionalisme, dan meminta agar pejabat terkait diberikan sanksi atas apa yang disebutnya sebagai kelalaian fatal dalam pelaksanaan tugas.
Kebijakan ini memunculkan perdebatan serius mengenai batas kewenangan lembaga intelijen keuangan, serta pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas terhadap hak-hak finansial masyarakat.(*)