Gempa M8,7 di Kamchatka Jadi Peringatan Serius bagi Indonesia di Jalur Cincin Api

Gambar yang diambil Layanan Geofisika Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia pada 30 Juli 2025 ini menunjukkan Severo-Kurilsk yang dilanda tsunami di Pulau Paramushir, kepulauan Kuril di utara Rusia usai gempa besar melanda wilayah tersebut. (Foto: Handout / Geop--

Radarlambar.bacakoran.co– Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 8,7 yang mengguncang Semenanjung Kamchatka, Rusia, pada Rabu (30/7), menjadi pengingat kuat bagi negara-negara yang berada dalam kawasan Cincin Api Pasifik, termasuk Indonesia. Wilayah dengan aktivitas tektonik tinggi seperti Indonesia menghadapi potensi serupa, dan kejadian ini menyoroti urgensi kesiapsiagaan yang lebih sistematis.

Kawasan Kamchatka diketahui terletak di zona seismic gap, yakni wilayah yang secara historis pernah mengalami gempa besar namun dalam waktu lama tidak menunjukkan aktivitas signifikan. Zona seperti ini sering disebut sebagai “bom waktu geologis”, dan gempa Kamchatka menjadi manifestasi dari akumulasi energi tektonik yang akhirnya dilepaskan.

Secara geologis, kondisi ini memiliki kesamaan dengan zona megathrust di barat Sumatera dan selatan Jawa—dua wilayah yang juga telah lama tidak mengalami gempa besar. Karakteristik geologi tersebut menempatkan Indonesia dalam risiko yang serupa, sehingga meningkatkan kebutuhan akan strategi mitigasi berbasis sains dan teknologi yang kuat.

Dampak dari gempa Kamchatka tidak hanya bersifat lokal. Gelombang tsunami dengan tinggi sekitar 60 cm tercatat telah mencapai pantai utara Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa energi seismik mampu menjalar jauh dan dalam waktu cepat, termasuk ke wilayah timur Indonesia dalam estimasi waktu 8 hingga 10 jam setelah gempa utama terjadi.

Negara seperti Jepang telah menunjukkan kemampuan mitigasi yang efektif. Dengan sistem peringatan dini tsunami yang menggabungkan observasi pasang surut dan tekanan air laut secara real-time, mereka mampu memberikan informasi cepat dan akurat kepada publik. Jepang tidak hanya mengandalkan model perhitungan semata, tetapi juga observasi langsung sebagai dasar kebijakan tanggap darurat.

Situasi ini menunjukkan bahwa kesiapan bukan lagi opsi, melainkan keharusan. Indonesia, yang berada di kawasan rawan gempa, khususnya di jalur subduksi aktif, perlu mempercepat penguatan sistem peringatan dini yang modern dan terintegrasi. Ketergantungan pada respons pasca-bencana harus bergeser menjadi investasi jangka panjang dalam upaya pencegahan dan edukasi publik.

Peristiwa di Rusia menggarisbawahi pentingnya kesiapsiagaan nasional terhadap ancaman gempa megathrust yang masih membayangi, terutama di sepanjang pesisir selatan Jawa dan Sumatra. Membangun sistem deteksi yang presisi, meningkatkan literasi risiko bencana di masyarakat, serta menjadikan mitigasi sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional adalah langkah-langkah strategis yang harus diprioritaskan.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan