Sam Altman: Percakapan Pengguna ChatGPT Bisa Jadi Bukti Hukum, Privasi Harus Dilindungi

CEO OpenAI Sam Altman mengungkap obrolan pengguna dengan ChatGPT ternyata dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Foto: REUTERS--
Radarlambar.bacakoran.co– CEO OpenAI, Sam Altman, menyampaikan keprihatinan terkait potensi penyalahgunaan percakapan pengguna dengan ChatGPT dalam konteks hukum. Menurutnya, banyak pengguna—terutama generasi muda—menjadikan ChatGPT sebagai teman bicara untuk membahas hal-hal pribadi, mulai dari kesehatan mental hingga persoalan hubungan dan kehidupan pribadi lainnya. Namun, saat ini belum ada perlindungan hukum eksplisit atas privasi percakapan tersebut.
Altman menyoroti fakta bahwa sistem hukum di Amerika Serikat mengizinkan pengadilan untuk meminta akses terhadap log percakapan pengguna ChatGPT. OpenAI sebagai pengelola layanan ini, terpaksa harus mematuhi jika ada perintah resmi dari pengadilan, bahkan bila hal itu menyangkut percakapan yang sangat sensitif.
Kondisi ini menimbulkan tantangan etika yang besar, mengingat belum ada kerangka hukum yang secara khusus memperlakukan percakapan AI layaknya interaksi antara pasien dan dokter, atau klien dan pengacara, yang selama ini dilindungi oleh kerahasiaan profesional. Altman menilai hal ini dapat berdampak pada kepercayaan publik terhadap teknologi AI secara umum, khususnya bagi mereka yang mengandalkan layanan AI untuk kebutuhan yang bersifat personal dan emosional.
Lebih lanjut, OpenAI mengungkapkan bahwa perusahaan telah mulai menghadapi permintaan hukum yang kompleks, termasuk dalam gugatan dari The New York Times, di mana pengadilan meminta OpenAI menyimpan dan menyerahkan log percakapan pengguna. Permintaan tersebut tidak berlaku bagi pelanggan layanan berbayar seperti ChatGPT Enterprise, yang memiliki perlindungan privasi tambahan.
Perusahaan teknologi secara umum memang sering diminta menyerahkan data pengguna untuk proses hukum. Namun, dalam konteks AI dan chatbot, muncul pertanyaan baru mengenai batas-batas perlindungan data digital, terlebih setelah sejumlah preseden hukum di Amerika Serikat mulai menggeser definisi dan cakupan kebebasan sipil. Salah satunya terjadi setelah pembatalan keputusan Roe v. Wade oleh Mahkamah Agung AS, yang memicu lonjakan minat terhadap aplikasi kesehatan pribadi yang mengedepankan enkripsi data.
OpenAI kini berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, perusahaan ingin menjaga kepercayaan pengguna dan menjamin perlindungan data. Di sisi lain, tekanan hukum dapat memaksa mereka menyerahkan informasi yang semestinya bersifat rahasia. Ketidakjelasan hukum mengenai status percakapan dengan AI menjadi hambatan besar bagi adopsi teknologi ini secara luas.
Altman menekankan pentingnya kejelasan hukum terkait privasi pengguna AI, sebagai prasyarat utama dalam membangun interaksi yang aman dan etis antara manusia dan mesin. Tanpa perlindungan yang memadai, ada risiko penyalahgunaan atau keterbukaan informasi yang seharusnya tidak disebarluaskan, terutama dalam konteks hukum dan kriminal.(*)