Dana di Bawah Tanah: Strategi Hamas Bertahan Bayar Gaji di Tengah Perang

Hamas menggelar parade di Gaza pada 2021. Militer Israel memperkirakan kekuatan Hamas sebanyak 30.000 anggota sebelum perang berlangsung. (Getty Images)--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Meski terhimpit serangan militer dan runtuhnya infrastruktur, Hamas masih mampu menjalankan fungsi administratif di Gaza dengan membayar gaji puluhan ribu pegawai negeri sipil. Keberhasilan ini bertumpu pada jaringan keuangan rahasia dan cadangan dana besar yang disimpan sebelum perang besar meletus pada Oktober 2023.
Selama hampir dua tahun agresi militer Israel berlangsung, kelompok tersebut tetap menjaga arus pembayaran bagi sekitar 30 ribu pegawai sipil dengan sistem distribusi tunai yang sangat tertutup. Total dana yang digelontorkan diperkirakan mencapai jutaan dolar Amerika Serikat, kendati nominal yang diterima para pegawai hanya sebagian kecil dari gaji normal sebelum konflik dimulai.
Kekuatan pembiayaan ini diyakini berasal dari cadangan uang tunai dan mata uang lokal yang disembunyikan di jaringan terowongan bawah tanah Gaza. Dana tersebut disiapkan jauh hari sebelum serangan Hamas ke Israel selatan, yang kemudian memicu operasi militer skala besar dari pihak Israel. Pengelolaan dana diyakini dilakukan secara langsung oleh elit kepemimpinan Hamas, meski beberapa di antaranya telah tewas dalam serangan udara.
Hamas selama ini mengandalkan kombinasi pemasukan dari pajak lokal, bea impor, dan bantuan asing, termasuk dari negara-negara Timur Tengah. Selain itu, sayap militer mereka juga mendapat dukungan dana melalui saluran keuangan yang terpisah, dengan sebagian besar dikaitkan dengan sokongan dari Iran.
Di tengah lumpuhnya sistem perbankan Gaza, proses distribusi gaji menjadi sangat rumit dan berisiko. Pegawai sipil diarahkan menuju titik-titik pertemuan tertentu melalui pesan terenkripsi untuk mengambil uang tunai secara langsung. Prosedur ini kerap menjadi target serangan militer, sehingga memperbesar risiko bagi para penerimanya.
Kondisi ekonomi yang memburuk menambah kesulitan masyarakat. Inflasi ekstrem dan kelangkaan barang membuat harga kebutuhan pokok melambung drastis. Harga rokok dan tepung melonjak berkali lipat, mencerminkan krisis pasokan yang semakin akut.
Sebagai upaya tambahan, Hamas juga menyalurkan bantuan pangan kepada anggotanya melalui jaringan komite darurat lokal. Namun, distribusi bantuan ini memicu kritik karena dianggap tidak adil dan hanya menyasar kalangan tertentu, sementara mayoritas warga tetap kesulitan mengakses makanan.
Meski terus mendapat tekanan dari berbagai arah, Hamas masih mampu mempertahankan sebagian fungsi pemerintahan melalui taktik logistik dan keuangan bawah tanah. Namun, di tengah konflik yang belum mereda dan penderitaan warga yang kian dalam, masa depan sistem ini semakin dipertanyakan. (*)