30 Persen Dana Desa Resmi Jadi Jaminan Terakhir Kopdes Merah Putih

Kemendes PDT resmi menetapkan aturan penggunaan maksimal 30 persen dari pagu anggaran dana desa sebagai jaminan terakhir apabila Kopdes Merah Putih gagal bayar. -Foto-Net-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) resmi menetapkan ketentuan penggunaan dana desa sebagai penopang terakhir bagi Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih yang mengalami gagal bayar pinjaman ke bank. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 10 Tahun 2025 yang ditandatangani Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Yandri Susanto pada 12 Agustus 2025.
Regulasi ini menjadi bagian dari tindak lanjut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 yang mengatur tata cara pinjaman bagi Kopdes Merah Putih. Tujuan utamanya adalah memastikan koperasi desa memiliki akses pembiayaan yang jelas, sekaligus melindungi fiskal desa dari beban berat akibat tunggakan angsuran yang tidak terbayar.
Permendes tersebut membatasi pemanfaatan dana desa untuk penopang terakhir pinjaman koperasi maksimal 30 persen dari total pagu anggaran per desa. Dana ini tidak diposisikan sebagai jaminan awal, melainkan baru digunakan ketika koperasi benar-benar gagal membayar angsuran pada bulan berjalan. Dengan demikian, dana desa tetap dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya, tanpa terpotong di awal.
Batas penggunaan ditentukan secara proporsional berdasarkan pagu desa. Untuk desa dengan pagu Rp400 juta hingga Rp499 juta, dukungan maksimal yang dapat digunakan untuk pengembalian pinjaman adalah Rp149 juta per tahun atau sekitar Rp12,5 juta per bulan. Sementara itu, desa dengan pagu Rp1 miliar hingga Rp1,099 miliar memiliki batas dukungan Rp329,99 juta per tahun atau sekitar Rp27,5 juta per bulan.
Pengajuan pinjaman oleh Kopdes Merah Putih harus mendapatkan persetujuan resmi dari Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Persetujuan ini diberikan melalui musyawarah desa khusus (musdesus) yang dihadiri perangkat desa, pengurus koperasi, anggota BPD, serta tokoh masyarakat.
Proposal rencana bisnis menjadi dokumen wajib dalam pengajuan, yang memuat rincian jenis usaha, kebutuhan modal, tahapan pencairan, bank penyalur, serta rencana pengembalian pinjaman. Hasil musyawarah kemudian dituangkan dalam surat kuasa Kepala Desa kepada kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara (KPA BUN) dan surat persetujuan pinjaman. Kedua dokumen ini menjadi syarat mutlak bagi bank penyalur, terutama perbankan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), untuk mencairkan dana pinjaman.
Mekanisme ini dirancang agar desa tetap memiliki ruang fiskal yang memadai untuk program-program prioritas seperti ketahanan pangan, penanganan kemiskinan ekstrem melalui BLT, penurunan angka stunting, serta operasional pembangunan infrastruktur. Penggunaan dana desa untuk membayar pinjaman koperasi diatur ketat agar tidak mengganggu program mandatori dan nonmandatori yang telah berjalan.
Kebijakan ini juga membuka peluang penguatan ekonomi desa. Dengan dukungan pinjaman yang terjamin, Kopdes Merah Putih diharapkan mampu menjalankan usaha produktif berskala besar, membuka lapangan kerja, dan mendorong perputaran ekonomi lokal. Namun demikian, pengelolaan yang lemah dan lemahnya pengawasan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar, yang pada gilirannya dapat membebani dana desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Yandri Susanto menandatangani Permendes ini setelah proses harmonisasi antar kementerian, termasuk koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Regulasi ini dipandang sebagai instrumen penting untuk memastikan keberhasilan program Kopdes Merah Putih sebagai salah satu agenda prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di tingkat desa.
Kemendes PDT menegaskan bahwa keterlibatan Kepala Desa dan BPD sebagai filter awal pengajuan pinjaman menjadi kunci pengendalian risiko. Dengan mekanisme ini, hanya koperasi yang memiliki rencana usaha jelas, prospek menguntungkan, dan dukungan penuh masyarakat desa yang akan mendapatkan akses pembiayaan dari bank.
Walaupun desain kebijakan ini sudah mengatur batasan dan prosedur secara rinci, implementasi di lapangan akan menjadi ujian tersendiri. Kualitas manajemen koperasi, kapasitas pengurus, serta kemampuan desa dalam mengawasi penggunaan pinjaman menjadi faktor penentu keberhasilan. Tanpa pengelolaan yang hati-hati, skema ini dapat menjadi beban fiskal yang signifikan bagi desa, terutama jika tingkat gagal bayar tinggi.
Kebijakan ini mempertegas arah pemerintah dalam membangun ekonomi desa berbasis koperasi dan pembiayaan produktif, namun tetap berupaya menjaga stabilitas fiskal desa. Jika dikelola dengan baik, Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi perdesaan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat kemandirian desa di seluruh Indonesia.(*/edi)