Ombudsman Sebut Kualitas Beras SPHP Kerap Dikeluhkan Konsumen

Beras SPHP. -Foto-Net-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Ombudsman Republik Indonesia menilai program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dijalankan Perum Bulog belum mampu menjawab persoalan gejolak harga beras di masyarakat. Masalah tidak hanya terletak pada kualitas beras yang dipasok, tetapi juga pada efektivitas distribusi yang masih sangat terbatas.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebutkan banyak konsumen mengeluhkan mutu beras SPHP. Keluhan mencakup kadar air yang terlalu tinggi sehingga beras cepat rusak, penampakan fisik yang kurang menarik, hingga aroma yang tidak segar. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kondisi ini menimbulkan dilema karena meski harga beras SPHP lebih murah, kualitas yang diterima tidak sesuai harapan.
Pemerintah memang membuka opsi bagi konsumen untuk mengembalikan beras SPHP yang tidak layak konsumsi. Namun, mekanisme pengembalian dinilai rumit, sehingga kecil kemungkinan masyarakat kecil yang membeli dalam jumlah terbatas berani menempuh proses itu. Hal ini menimbulkan kesan seolah program hanya sebatas formalitas tanpa memperhatikan kenyamanan konsumen.
Dari sisi distribusi, realisasi SPHP hingga awal September 2025 baru mencapai 302 ribu ton, atau 20 persen dari target 1,5 juta ton sepanjang tahun. Jika dihitung per hari, penyaluran rata-rata hanya 2.392 ton, sangat kecil dibandingkan kebutuhan konsumsi harian beras nasional sekitar 86.700 ton. Dengan kata lain, program ini baru mampu menutup sekitar 2,75 persen dari kebutuhan nasional.
Kondisi ini menjelaskan mengapa harga beras di pasaran tetap tinggi. Tanpa pasokan yang memadai, intervensi pemerintah lewat SPHP tidak cukup kuat untuk menekan harga, terutama ketika musim paceklik dan produksi petani menurun.
Data BPS menunjukkan pengeluaran rumah tangga Indonesia untuk pangan masih mendominasi total biaya hidup, dengan beras sebagai komoditas utama. Kegagalan menjaga stabilitas harga beras secara langsung memperbesar tekanan inflasi pangan. Bagi kelompok miskin, kenaikan harga beras menjadi ancaman serius terhadap daya beli dan ketahanan pangan keluarga.
Jika program SPHP tidak diperbaiki, maka keberadaan Bulog sebagai instrumen stabilisasi pangan berpotensi dipertanyakan efektivitasnya. Situasi ini juga berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap intervensi pemerintah di sektor pangan.
Bulog selama ini mengemban tugas menyalurkan beras SPHP melalui jaringan ritel, pasar tradisional, dan toko-toko mitra. Namun, keterbatasan logistik, birokrasi distribusi, serta minimnya koordinasi dengan pemerintah daerah membuat penyaluran tidak optimal. Ombudsman menilai pemerintah pusat perlu memperkuat koordinasi lintas instansi, termasuk memperluas kanal distribusi agar program benar-benar menjangkau konsumen.
Selain itu, standarisasi mutu harus ditegakkan. Pemerintah didorong menetapkan standar kadar air, aroma, dan kebersihan beras SPHP yang wajib dipatuhi Bulog dan mitra penggiling berasnya. Jika standar ini diabaikan, maka konsumen akan semakin enggan membeli beras SPHP meski harganya lebih rendah.
Pengamat menilai program SPHP hanya bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar masalah. Persoalan sebenarnya adalah rendahnya produktivitas pertanian, tingginya biaya distribusi, serta kurangnya investasi pada infrastruktur pascapanen. Tanpa perbaikan di hulu, intervensi di hilir seperti SPHP hanya menjadi solusi sementara.
Pemerintah diminta melakukan evaluasi total dengan pendekatan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Itu berarti selain menjaga pasokan beras murah, negara juga perlu memastikan petani memperoleh harga yang layak, infrastruktur pertanian membaik, dan rantai distribusi efisien.