Setelah 10 Nyawa Melayang, Apa Langkah Nyata Para Elite Politik?

Aksi demo di Jakarta. -Foto Disway-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai kota di Indonesia akhir Agustus lalu tak hanya menyisakan trauma dan luka, tapi juga membuka babak baru dalam hubungan rakyat dan penguasa. Sepuluh nyawa melayang dalam rentetan aksi yang berlangsung antara 25 hingga 31 Agustus 2025, menjadi titik balik yang memaksa para elite politik untuk turun dari menara gadingnya.
Presiden Prabowo Subianto menjadi figur utama yang mencoba merespons situasi ini. Dalam rentang dua hari berturut-turut, ia mengundang seluruh pimpinan partai politik ke Istana Negara. Pertemuan pertama berlangsung pada Minggu, dilanjutkan keesokan harinya dengan menghadirkan tokoh-tokoh agama, pimpinan serikat buruh, serta elemen masyarakat sipil. Tujuannya jelas: meredakan ketegangan dan merumuskan langkah konkret pasca-gejolak rakyat.
Sementara itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memilih jalur dialog langsung dengan para pengemudi ojek online. Meski sempat menuai kontroversi terkait siapa yang mewakili para pengemudi tersebut, pertemuan ini menunjukkan adanya kesadaran pemerintah akan pentingnya mendengar suara akar rumput.
Respons dari lembaga legislatif pun tak tertinggal. Pimpinan DPR menyambut delegasi mahasiswa di kompleks parlemen. Di tengah tekanan publik, muncul janji akan adanya evaluasi kinerja parlemen serta komitmen menuju reformasi internal. Langkah-langkah ini menyiratkan adanya pengakuan bahwa lembaga wakil rakyat belum sepenuhnya berhasil menjadi corong aspirasi masyarakat.
Namun, di balik semua pertemuan dan pernyataan itu, publik bertanya: apakah ini langkah nyata atau sekadar upaya kosmetik untuk meredam amarah?
Rakyat Tak Lagi Tertarik dengan Basa-Basi
Masyarakat, terutama generasi muda yang mendominasi demografi saat ini, menunjukkan pola pikir yang jauh berbeda dari era sebelumnya. Generasi Z dan milenial lebih menuntut kejelasan arah dan tindakan nyata. Bagi mereka, janji tanpa tindak lanjut hanya akan memperburuk ketidakpercayaan yang sudah mengakar dalam politik nasional.
Situasi ini bukan sekadar gejolak sesaat. Aksi beruntun yang berlangsung selama hampir sepekan adalah peringatan keras bagi para elite bahwa ketidakpuasan publik telah mencapai titik didih. Jika tidak ditanggapi dengan kebijakan yang konkret dan berpihak, potensi ledakan sosial berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Krisis Kepercayaan yang Menganga
Gelombang protes ini juga menandai betapa rapuhnya hubungan antara rakyat dan para pemegang kekuasaan. Langkah-langkah simbolik seperti kunjungan, konferensi pers, atau janji reformasi, tak akan cukup untuk menyembuhkan luka kepercayaan yang semakin dalam. Yang dibutuhkan rakyat adalah komitmen yang terwujud dalam kebijakan: pengesahan undang-undang yang pro-rakyat, revisi regulasi bermasalah, dan penegakan etika politik yang lebih bermartabat.
RUU Perampasan Aset, misalnya, menjadi salah satu tuntutan yang paling banyak digaungkan. Banyak pihak menilai regulasi ini akan menjadi alat strategis dalam melawan korupsi dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Namun, hingga saat ini, pembahasannya masih terkesan lamban dan terjebak dalam tarik-ulur politik.
Partai Politik dan Wajah Lama Demokrasi
Di tengah krisis ini, partai politik menjadi salah satu institusi yang paling disorot. Sebagai kendaraan utama dalam sistem demokrasi, partai seharusnya menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen yang sehat. Namun yang terjadi justru sebaliknya — dominasi kekuatan uang dan popularitas kerap kali menyingkirkan kompetensi dan integritas.
Krisis kepercayaan terhadap partai politik bukan tanpa sebab. Dalam sistem yang masih sarat kepentingan dan kompromi transaksional, sulit bagi publik untuk percaya bahwa perubahan akan datang dari dalam. Reformasi partai menjadi kebutuhan mendesak — tidak hanya pada struktur internal, tapi juga pada paradigma dan nilai-nilai yang dianut.