Tanggul di Laut Cilincing Bukan Giant Sea Wall, Tapi Jadi Sorotan Publik

Tanggul Beton di Laut Cilincing. Foto Radar Grup--
Radarlambar.bacakoran.co – Gelombang reaksi publik kembali mencuat setelah kemunculan tanggul beton di wilayah pesisir Cilincing, Jakarta Utara, menjadi perbincangan hangat di media sosial dan masyarakat. Bukan hanya karena bentuk fisiknya yang tampak mencolok di tengah laut, tapi juga karena dampak langsungnya terhadap kehidupan nelayan lokal yang menggantungkan mata pencaharian dari akses mudah ke laut.
Kehadiran struktur beton ini memaksa para nelayan untuk memutar lebih jauh ketika hendak melaut. Hal ini tak hanya menambah waktu dan biaya operasional, tapi juga mengusik rasa keadilan sosial bagi komunitas pesisir yang selama ini merasa terpinggirkan dalam proses pembangunan.
Banyak pihak menduga bahwa struktur ini merupakan bagian dari proyek besar tanggul laut raksasa atau giant sea wall yang sejak lama menjadi topik kontroversial dalam perencanaan tata ruang pesisir Jakarta. Namun dugaan itu ternyata keliru. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tanggul tersebut dipastikan bukan bagian dari proyek giant sea wall.
KKP mengungkapkan bahwa tanggul beton yang membentang di kawasan perairan Cilincing merupakan bagian dari proyek reklamasi milik PT Karya Citra Nusantara (KCN), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan pelabuhan dan infrastruktur logistik maritim. Proyek ini berada di sekitar kawasan Pelabuhan Marunda dan telah mengantongi izin dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), yang merupakan syarat utama dalam pemanfaatan ruang laut secara legal di Indonesia.
Tim dari KKP juga telah melakukan verifikasi lapangan menanggapi keluhan masyarakat nelayan yang merasa akses mereka terganggu akibat proyek ini. Berdasarkan hasil verifikasi, pemrakarsa proyek disebut tidak menutup akses laut bagi nelayan, meski pada praktiknya, jalur pelayaran menjadi lebih jauh dan berpotensi mengganggu efektivitas kegiatan melaut nelayan tradisional.
Pihak KKP menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan pengawasan terhadap proyek tersebut agar pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir. Kepentingan nelayan serta keberlanjutan lingkungan laut tetap menjadi prioritas utama dalam setiap proses pembangunan yang melibatkan ruang laut nasional.
Proyek pengembangan pelabuhan ini sendiri bertujuan untuk memperkuat konektivitas dan pertumbuhan ekonomi maritim Indonesia. Dengan menyediakan infrastruktur logistik modern, pemerintah berharap kawasan Marunda dapat menjadi simpul penting dalam rantai pasok nasional. Namun, pertumbuhan ekonomi yang diidamkan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak-hak masyarakat kecil, terutama mereka yang hidup dari laut.
Sementara itu, dari sisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tanggul beton tersebut berada di luar kewenangan mereka. Proyek ini sepenuhnya berada dalam ranah Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengingat lokasinya yang berada di wilayah pengelolaan pelabuhan dan perairan yang diatur oleh kementerian. Pihak pengelola pelabuhan pun disebut memiliki otoritas penuh terhadap izin dan pengembangan kawasan tersebut.
Fenomena tanggul beton ini kembali menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang transparan dan inklusif dalam setiap proyek pembangunan, terlebih jika proyek tersebut bersinggungan langsung dengan ruang hidup masyarakat. Ketika pembangunan terus digalakkan demi kepentingan nasional, maka perlindungan terhadap komunitas-komunitas kecil seperti nelayan tradisional harus dijadikan fondasi utama, bukan sekadar lampiran administratif dalam dokumen perizinan.
Dengan isu yang terus bergulir, masyarakat menanti langkah konkret dari pemerintah dalam menyeimbangkan antara pembangunan dan keadilan sosial. Satu hal yang pasti, keberlanjutan pembangunan pesisir Indonesia tak hanya diukur dari panjangnya tanggul atau tingginya investasi, tapi juga dari sejauh mana negara mampu merangkul dan melindungi masyarakat yang paling terdampak di garis depan perairan. (*/rinto)