Kisah Soeharto Nekat ke Bosnia Saat Perang Berkecamuk
Muhammadiyah dukung Soeharto jadi pahlawan nasional, PBNU nilai jasa Soeharto dan Gus Dur besar bagi bangsa, daftar tokoh diusulkan Kemensos jadi pahlawan nasional--
RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Tahun 1995 menjadi salah satu catatan bersejarah dalam perjalanan diplomasi Indonesia. Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Sarajevo, Bosnia, saat wilayah itu masih dilanda perang saudara yang mematikan. Di tengah ancaman penembak jitu dan tembakan senjata berat, Soeharto turun dari pesawat tanpa helm dan tanpa rompi antipeluru, menunjukkan keberanian yang tak lazim bagi seorang kepala negara.
Kunjungan berisiko tinggi itu terjadi setelah Soeharto menyelesaikan pertemuan di Zagreb, Kroasia. Tanpa pemberitahuan panjang, ia menyatakan ingin menuju Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, yang kala itu dikepung pasukan Serbia. Para pejabat Indonesia yang mendampinginya, termasuk Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dibuat terkejut karena wilayah itu dikenal sebagai daerah paling berbahaya di Eropa saat itu.
Meskipun dilarang oleh Jenderal Bernard Janvier dari pasukan PBB, Soeharto bersikeras berangkat. Ia bahkan menandatangani pernyataan yang menyebut PBB tidak bertanggung jawab atas keselamatan rombongan Indonesia. Dengan langkah berani, Soeharto memimpin penerbangan menuju Sarajevo tanpa perlindungan diri, sementara seluruh anggota rombongan memakai rompi antipeluru dan helm.
Setibanya di Sarajevo, rombongan dijemput pasukan PBB menggunakan kendaraan lapis baja buatan Prancis. Soeharto menempati panser ketujuh untuk mengelabui potensi serangan. Perjalanan menuju pertemuan dengan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic berjalan tegang, namun semua rombongan tiba dengan selamat.
Dalam pertemuan itu, Soeharto menyampaikan dukungan moral Indonesia kepada rakyat Bosnia yang tengah berjuang di tengah perang etnis. Menurut pengakuan ajudannya, Sjafrie Sjamsoeddin, alasan Soeharto nekat datang ke Sarajevo sederhana namun menyentuh: Indonesia tidak memiliki cukup dana untuk membantu secara materi, tetapi sebagai pemimpin Negara Non-Blok, Soeharto merasa perlu hadir dan menunjukkan solidaritas secara langsung.
Tak hanya datang membawa semangat, Soeharto juga meninggalkan warisan simbolis bagi rakyat Bosnia. Ia memprakarsai pembangunan Masjid Istiqlal Sarajevo sebagai hadiah persahabatan antara Indonesia dan Bosnia-Herzegovina. Arsitek Fauzan Noe’man ditunjuk untuk mendesainnya, sementara elemen-elemen khas Indonesia seperti pintu kayu jati dari Jepara dan mihrab hadiah B.J. Habibie serta Ainun Habibie menambah nilai historis bangunan tersebut.
Pembangunan masjid itu sempat tertunda akibat lengsernya Soeharto pada 1998, namun akhirnya diresmikan pada 2001. Kini, Masjid Istiqlal Sarajevo tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol persaudaraan dan pusat kebudayaan Indonesia di Eropa Tenggara.