Dubes Sudan: Kelaparan di Negara Kami Buatan Manusia
Perang saudara di Sudan kembali memanas hingga menyebabkan ribuan orang tewas dalam pembantaian massal oleh pasukan paramiliter RSF di kota El Fasher. Foto: REUTERS--
RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Duta Besar Sudan untuk Indonesia, Yassir Mohamed Ali, menegaskan bahwa kelaparan yang dilaporkan terjadi di negaranya bukan disebabkan oleh bencana alam, melainkan hasil dari situasi yang sengaja diciptakan pihak tertentu untuk melemahkan pemerintah Sudan.
Menurut Yassir, wilayah El Fasher di Darfur Utara telah dikepung selama lebih dari 500 hari hingga menyebabkan warganya kelaparan. Ia menyebut kondisi tersebut bukanlah bencana alam, melainkan strategi yang disengaja untuk memaksa warga meninggalkan daerahnya atau menyerah kepada kelompok tertentu.
Laporan terbaru dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menyebut lebih dari 21 juta penduduk Sudan mengalami kerawanan pangan akut—menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Sebagian besar korban dilaporkan berada di wilayah Darfur Utara dan Kordofan Selatan, di mana banyak keluarga terjebak dalam kondisi ekstrem hingga harus memakan dedaunan dan pakan ternak untuk bertahan hidup.
Meski laporan tersebut dikonfirmasi PBB melalui Famine Review Committee, Yassir menilai publikasi itu dimanfaatkan sebagai pembenaran untuk intervensi asing. Ia menuding upaya bantuan kemanusiaan kerap disertai tujuan politik dan logistik, bukan murni untuk membantu rakyat Sudan.
Pemerintah Sudan, kata Yassir, tidak menolak bantuan pangan internasional. Namun, pemerintah keberatan dengan rute distribusi yang dikendalikan kelompok bersenjata Rapid Support Forces (RSF) melalui perbatasan Chad. Menurutnya, permintaan agar bantuan disalurkan melalui jalur resmi pemerintah justru ditolak oleh pihak yang menuduh Sudan tidak kooperatif.
Yassir juga menyoroti standar ganda yang diterapkan lembaga internasional dalam menanggapi konflik global. Ia menilai sikap dunia terhadap Rusia dan Israel menunjukkan ketimpangan moral yang nyata. “Rusia disebut agresor, sementara tindakan Israel di Gaza bahkan lebih parah, tapi tidak ada yang berani mengutuk,” tegasnya.