Kacabjari Minta Pekon Transparan Kelola Anggaran
Cabjari Lampung Barat di Krui minta Pekon transparan kelola dana desa. foto dok--
PESISIR TENGAH - Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2025 di Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar) kembali menjadi ruang refleksi sekaligus peringatan keras bagi seluruh unsur pemerintahan pekon (desa) agar tidak menganggap enteng bahaya laten korupsi yang dapat merusak sendi pembangunan.
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) Lampung Barat di Krui, Yogie Verdika, S.H., M.H., menegaskan momentum HAKORDIA harus dimanfaatkan untuk memperkuat komitmen bersama dalam mencegah dan memberantas korupsi, terutama di tingkat pekon yang kini memegang peran besar dalam pengelolaan anggaran negara.
“Kami sebelumnya juga telah melakukan kegiatan penyuluhan hukum yang digelar di Kantor Cabjari Lampung Barat di Krui, pada Selasa, 9 Desember 2025 bertepatan dengan peringatan Harkodia” kata dia, Rabu, 10 Desember 2025.
Dijelaskannya, ia juga mengingatkan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi kejahatan luar biasa yang berdampak sistemik terhadap kesejahteraan masyarakat. Karena itu, peringatan Hakordia mengajak semua, termasuk pemerintah pekon, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan para pemuda, untuk memahami bahwa korupsi merusak keuangan negara, menghambat pembangunan, dan berakhir pada penderitaan rakyat..
“Pekon saat ini menjadi salah satu poros penting pembangunan nasional. Setiap tahun, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengalokasikan dana yang sangat besar melalui Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD),” jelasnya.
Karena itu, penggunaan anggaran tersebut harus transparan, akuntabel, tepat sasaran, dan sepenuhnya berlandaskan musyawarah desa. Artinya, posisi pekon atau desa saat ini sangat strategis. Dengan anggaran yang besar, seluruh pengelolaan harus dilakukan secara jujur, terbuka, dan sesuai ketentuan. Tidak boleh ada ruang untuk praktik-praktik yang menyimpang.
Masih kata dia, sejumlah potensi praktik korupsi yang sering ditemukan dalam pengelolaan dana desa. Ia menyebutkan beberapa pola yang kerap muncul dalam berbagai kasus, mulai dari mark up anggaran, kegiatan dan laporan fiktif, pemotongan hak masyarakat penerima bantuan, hingga penggunaan dana desa untuk kepentingan pribadi. Tidak hanya itu, proses pengadaan barang dan pembangunan fisik yang tidak mengikuti prosedur resmi turut menjadi titik rawan yang sering menimbulkan ketidaksesuaian kualitas dan kerugian negara.
“Segala bentuk penyalahgunaan kewenangan memiliki konsekuensi hukum. Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor telah jelas mengatur ancaman pidana dan kewajiban pengembalian kerugian negara,” jelasnya.
Menariknya, Yogie tidak hanya menyoroti sisi penindakan, tapi dia juga menjelaskan secara rinci bahwa kejaksaan memiliki peran besar dalam pencegahan. Melalui berbagai program penerangan hukum, pendampingan hukum, hingga penyuluhan hukum yang terus digelar, kejaksaan berupaya memperbaiki tata kelola pemerintahan desa agar berjalan semakin baik dan minim potensi penyimpangan.
“Upaya pencegahan ini bukan formalitas. Kami hadir untuk membina, bukan semata-mata menghukum. Pekon harus mendapatkan pemahaman yang benar agar tidak salah langkah dalam pengelolaan anggaran,” katanya.
Ia menekankan bahwa pembinaan yang dilakukan kejaksaan merupakan bagian dari strategi besar memperkuat integritas tata kelola desa. Dengan pemahaman hukum yang memadai, aparatur pekon akan mampu menjalankan tugas secara profesional serta meminimalkan risiko pelanggaran.
“Kejaksaan bukan hanya menunggu laporan, tapi aktif hadir di tengah masyarakat. Pendampingan dan penyuluhan adalah bagian dari komitmen kami memperbaiki sistem agar desa tidak salah arah,” pungkasnya. (yayan/*)