Radarlambar.bacakoran.co- Ukraina kembali memperburuk ketegangan global dengan meluncurkan rudal jarak jauh buatan Amerika Serikat, Army Tactical Missile System (ATACMS), ke dalam wilayah Rusia.
Serangan ini menargetkan fasilitas militer di wilayah Bryansk, dan ini menandai pertama kalinya senjata tersebut digunakan selama konflik yang sudah berlangsung hampir tiga tahun.
Rudal ATACMS, yang dapat menjangkau jarak hingga 300 kilometer dan dilengkapi hulu ledak seberat 226 kilogram, adalah produk Lockheed Martin yang awalnya dikembangkan pada era Perang Dingin.
Rusia mengonfirmasi bahwa pasukannya berhasil mencegat sebagian besar rudal tersebut, namun beberapa di antaranya tetap melesat menuju sasaran, memicu kebakaran besar di fasilitas yang diserang.
Pejabat Rusia menyebut serangan itu sebagai tindakan provokatif yang meningkatkan risiko eskalasi lebih jauh, menyusul keputusan Presiden AS Joe Biden untuk memberikan izin kepada Ukraina menggunakan ATACMS, meski hanya beberapa bulan menjelang berakhirnya masa jabatan Biden.
Kepala militer Ukraina mengakui bahwa serangan itu berhasil mengenai depot senjata Rusia yang menyebabkan ledakan besar, namun tidak mengungkapkan secara rinci jenis senjata yang digunakan.
Pejabat AS juga mengonfirmasi penggunaan ATACMS, yang kini semakin memanaskan suasana. Moskow sendiri menilai bahwa penggunaan senjata ini tanpa dukungan operasional dari AS akan menempatkan Washington sebagai aktor utama dalam perang ini, yang semakin memperbesar ancaman Perang Dunia Ketiga.
Sementara itu, Presiden Vladimir Putin memperkenalkan doktrin nuklir baru yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir sebagai respons terhadap serangan yang mengancam integritas teritorial Rusia.
Langkah ini semakin memperjelas bahwa Rusia tidak menunjukkan minat untuk berdamai dan sebaliknya, memilih untuk terus mengintensifkan konfrontasi dengan Ukraina dan sekutunya.
Diketahui, Perang Ukraina—yang sudah merenggut puluhan ribu nyawa dan menyebabkan kerusakan ekonomi yang parah—terus berlanjut, dengan dampak besar terhadap stabilitas ekonomi dunia. Ekonomi Ukraina, misalnya, diperkirakan mengalami penurunan hampir sepertiga pada 2022, meskipun ada sedikit pemulihan pada 2023.
Sementara itu, Rusia juga harus menghadapi lonjakan inflasi yang diperkirakan mencapai 8,5%, memicu tantangan baru bagi stabilitas domestiknya.(*)