Radarlambar.bacakoran.co - Roxy Square, yang dulunya dikenal sebagai pusat perbelanjaan elektronik dan aksesoris di Jakarta, kini mengalami penurunan signifikan dalam jumlah pengunjung. Mal yang semula ramai ini kini terlihat sepi, jauh berbeda dari kejayaannya yang dulu.
Pergeseran perilaku belanja ke platform online menjadi salah satu faktor utama yang membuat banyak orang enggan berbelanja di toko fisik. Namun, meski kondisi ini terjadi, sejumlah pedagang tetap memilih untuk bertahan. Apa alasan mereka?
Lia, salah seorang pedagang di Roxy Square, mengungkapkan bahwa biaya sewa kios di mal tersebut tergolong murah dibandingkan tempat lain. Sebuah kios dengan luas 6,30 m² hanya dikenakan biaya sewa tahunan sebesar Rp2,5 juta, ditambah dengan biaya service charge sebesar Rp421.000 per bulan, yang sudah mencakup biaya listrik dan fasilitas lainnya. Harga sewanya sangat terjangkau, ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Keadaan ini membuat pedagang merasa lebih nyaman untuk tetap berjualan di Roxy Square ketimbang harus mencari tempat lain dengan biaya yang lebih tinggi. Meski jumlah pengunjung yang datang langsung ke kios sangat minim, beberapa pedagang menggunakan kios mereka sebagai gudang atau kantor untuk mendukung kegiatan jualan online.
Kalau ada orang yang datang langsung untuk berbelanja, itu memang sudah jarang sekali. Namun, untuk jualan online, masih aman, jelas Lia.
Selain harga sewa yang murah, faktor kenyamanan juga menjadi alasan pedagang bertahan. Fasilitas seperti pendingin udara (AC) dan ruangan yang bersih membuat barang dagangan tetap terjaga kualitasnya, berbeda jika berjualan di pinggir jalan yang penuh debu.
Namun, beberapa fasilitas lainnya di mal seperti eskalator sudah tidak berfungsi dengan baik. Lia mengatakan eskalator sering dimatikan, dan hanya dinyalakan saat karyawan kantor yang berada di lantai 1 hingga 5 turun untuk makan siang. Sistem pendingin udara juga sering dimatikan pada sore hari, meski jam operasional mal seharusnya berlangsung hingga pukul 21.00 WIB.
Kini, lantai atas Roxy Square telah berubah fungsi menjadi ruang kantor, seperti kantor Sinarmas Group yang mendominasi lantai 1 hingga 5. Aktivitas jual beli kini lebih banyak terkonsentrasi di lantai bawah (LG, G, dan UG), di mana beberapa kios masih buka, meski mayoritas pedagang lebih mengandalkan penjualan secara online. Suasana yang dulu riuh dengan tawaran pedagang kini digantikan oleh kegiatan pengemasan barang dan pencatatan pesanan.
Roxy Square yang dulu menjadi tujuan utama bagi pemburu elektronik, aksesoris, hingga pakaian kini terlihat sangat sepi, hampir seperti 'kuburan', jauh dari hiruk-pikuk transaksi yang dulu menjadi ciri khasnya.
Untuk mencari suatu pelanggan yang datang langsung, rasanya sudah tidak mungkin lagi. Namun, kios di sini masih bisa dimanfaatkan sebagai gudang atau kantor untuk mendukung usaha, kata Lia sambil merapikan barang dagangannya.
Dengan kondisi yang semakin menurun, kejayaan Roxy Square kini hanya tinggal kenangan. Para pedagang yang masih bertahan harus beradaptasi dengan perubahan, atau mungkin memilih untuk mundur seiring dengan berkurangnya daya tarik mal ini.
Sebagai catatan, artikel ini berdasarkan observasi langsung dan wawancara dengan pedagang di Roxy Square. Sampai dengan artikel ini ditayangkan, pihak pengelola mal belum memberikan tanggapan terkait kondisi sebenarnya yang ada.(*)
Kategori :