Radarlambar.bacakoran.co -Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), Marco Rubio, mengumumkan bahwa ia akan melewatkan pertemuan G20 yang dijadwalkan di Afrika Selatan pada Februari 2025. Keputusan ini muncul di tengah ketegangan yang semakin meningkat antara Washington dan Pretoria terkait dengan undang-undang pengambilalihan tanah yang kontroversial yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah Afrika Selatan.
Pengumuman Rubio datang beberapa hari setelah Presiden AS, Donald Trump, mengancam untuk memotong bantuan ke Afrika Selatan karena pengesahan undang-undang yang memungkinkan penyitaan tanah tanpa kompensasi dalam kondisi tertentu. Rubio mengkritik tindakan pemerintah Afrika Selatan dengan menyebutkan bahwa negara tersebut menggunakan forum G20 untuk mempromosikan agenda yang bertentangan dengan kepentingan AS, seperti kebijakan keberagaman, kesetaraan, dan perubahan iklim.
Rubio Kritik Undang-Undang Pengambilalihan Tanah Afrika Selatan
Dalam unggahannya di media sosial X, Rubio menyebut bahwa Afrika Selatan telah melakukan tindakan yang merugikan dengan mengambil alih properti pribadi, dan menggunakan G20 untuk memajukan isu-isu yang dianggapnya tidak relevan dengan kepentingan Amerika. “Tugas saya adalah memajukan kepentingan nasional Amerika, bukan membuang-buang uang pembayar pajak atau memanjakan anti-Amerika,” kata Rubio.
Keputusan ini memicu kritik dari para pengamat politik. Andrew Bates, Wakil Sekretaris Pers Senior Gedung Putih di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, menilai bahwa keputusan Rubio ini bisa merugikan posisi AS di dunia internasional, terutama dalam hubungan dengan negara-negara besar lainnya, dan menguntungkan kekuatan seperti China.
Perselisihan Terkait Pengambilalihan Tanah dan Reaksi Pretoria
Pemerintah Afrika Selatan, yang memegang presidensi G20 hingga November 2025, mengesahkan undang-undang yang memungkinkan penyitaan tanah tanpa kompensasi dalam situasi tertentu, sebagai upaya untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah yang diwarisi dari sistem apartheid. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa membela undang-undang tersebut sebagai bagian dari "proses hukum yang diamanatkan secara konstitusional" yang bertujuan untuk memastikan akses yang lebih adil terhadap tanah.
Namun, undang-undang ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk Partai Aliansi Demokratik (DA), yang menilai bahwa langkah ini dapat merusak hak milik pribadi dan menakut-nakuti investor asing. Meskipun demikian, DA juga menanggapi ancaman Trump untuk memotong bantuan dengan menganggapnya sebagai kesalahpahaman, karena mereka menegaskan bahwa tanah tidak dapat disita secara sembarangan.
Kontroversi Kepemilikan Tanah di Afrika Selatan
Masalah kepemilikan tanah memang menjadi isu sensitif di Afrika Selatan. Sebagai warisan dari era apartheid, orang kulit hitam Afrika Selatan yang membentuk lebih dari 80% populasi negara itu hanya memiliki 4% dari tanah pertanian milik pribadi. Sebaliknya, orang kulit putih, yang jumlahnya sekitar 7% dari total populasi, menguasai sekitar tiga perempat tanah di negara tersebut. Ketimpangan ini menjadi alasan utama pemerintah Afrika Selatan untuk mendorong reformasi agraria melalui kebijakan penyitaan tanah tanpa kompensasi.
Sementara itu, ancaman pemotongan bantuan oleh Trump datang di tengah kebekuan hampir semua bantuan asing yang dialokasikan oleh pemerintahannya. Pada tahun 2023, Amerika Serikat memberikan sekitar $440 juta bantuan ke Afrika Selatan. Namun, ketegangan ini menunjukkan semakin kompleksnya hubungan diplomatik antara kedua negara terkait dengan kebijakan domestik Afrika Selatan dan kepentingan luar negeri AS.
Kategori :