Fenomena Siswa SMP Tak Bisa Baca Cermin Bobroknya Pendidikan Indonesia

Sabtu 19 Apr 2025 - 17:10 WIB
Reporter : Edi Prasetya

Radarlambar.bacakoran.co - Fenomena mengejutkan datang dari Kabupaten Buleleng, Bali, ketika ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditemukan tak mampu membaca dengan lancar. 

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat, dari 34.062 siswa, sebanyak 155 siswa dikategorikan sebagai Tidak Bisa Membaca (TBM), sedangkan 208 siswa lainnya termasuk dalam Tidak Lancar Membaca (TLM). Temuan ini menjadi alarm keras bahwa sistem pendidikan nasional tengah menghadapi krisis serius di tingkat paling mendasar.

Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, mengungkapkan bahwa faktor internal dan eksternal menjadi penyebab utama permasalahan ini. Dari sisi internal, sejumlah siswa mengalami hambatan seperti disleksia, trauma psikologis, dan minimnya dukungan keluarga. Sementara dari sisi eksternal, dampak panjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat pandemi, kesenjangan literasi sejak jenjang Sekolah Dasar, serta beban psikologis akibat masalah keluarga dan perundungan, turut memperparah kondisi.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es. Ia mengungkapkan bahwa permasalahan serupa sudah terjadi di berbagai daerah, bahkan pada jenjang SMA, namun luput dari perhatian serius. Ia menyebut bahwa sekolah telah gagal menjalankan fungsinya sebagai tempat utama pembentukan kemampuan dasar, seperti membaca. Ramainya lembaga kursus membaca menjadi indikator nyata kegagalan institusi pendidikan formal.

Menurut Ubaid, akar masalah ini tak lepas dari kebijakan pendidikan yang tidak konsisten dan selalu berubah setiap kali terjadi pergantian menteri. Ia menekankan perlunya kebijakan yang berbasis evaluasi dan data. Selain itu, kualitas guru yang masih rendah akibat masalah kesejahteraan, beban administratif, dan rendahnya budaya literasi, memperburuk situasi.

Hal serupa disampaikan oleh Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim. Ia menyayangkan belum adanya grand design pendidikan nasional jangka panjang. Menurutnya, kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini bersifat tambal sulam dan tidak menyentuh akar permasalahan.

Salah satu kebijakan yang dikritik adalah program makan bergizi gratis yang saat ini digagas pemerintah. Meskipun langkah ini penting untuk mendukung tumbuh kembang anak, namun keduanya menilai bahwa perbaikan kualitas pembelajaran dan infrastruktur sekolah seharusnya menjadi prioritas utama. Memberi makan siswa tanpa memperbaiki ekosistem pendidikan dinilai hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak menyentuh esensi masalah.

Keduanya sepakat bahwa langkah komprehensif perlu segera diambil, mulai dari peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, penyediaan anggaran pendidikan yang merata dan tepat sasaran, hingga pembenahan kurikulum yang tidak hanya fokus pada administratif, tetapi juga penguatan budaya membaca dan berpikir kritis sejak dini.(*/edi)

Kategori :