Radarlambar.bacakoran.co- Hujan deras mengguyur pesisir Kutubdia, Bangladesh, malam itu. Petir menyambar, angin kencang merobek langit dan memaksa pepohonan tunduk. Namun bagi Mohammad Kamal, anak muda berusia 21 tahun yang telah terbiasa hidup di daerah pesisir, cuaca ekstrem seperti ini bukan hal baru.
Sebelum larut malam, Kamal memilih masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, dan merebahkan diri di kasur. Deru angin dan suara hujan tak mampu melawan rasa kantuk yang datang. Ia pun terlelap. Tapi tidurnya tak berlangsung lama.
Saat terbangun, Kamal mendapati angin telah mengguncang pepohonan di luar rumahnya. Gelombang laut mulai menjalar ke daratan, membentuk dinding air yang mengarah ke perkampungan. Dalam kepanikan, ia mencoba keluar menyelamatkan diri. Namun ombak lebih cepat datang dan menghantam rumahnya. Tubuh Kamal terseret arus, namun berhasil bertahan dengan berpegangan pada batang pohon kelapa selama delapan jam hingga air surut.
Tragisnya, ia harus kehilangan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang tak pernah kembali sejak malam itu.
Di tempat lain, Ayesha (25 tahun) mulai merasa ada yang ganjil sejak petir dan angin terasa tak wajar. Ia mencoba membujuk suaminya untuk mencari tempat aman, meski belum tahu ke mana harus pergi. Akhirnya, Ayesha mengajak anaknya dan ibu mertuanya pindah ke rumah tetangga yang dinilai lebih kokoh.
Tak lama setelah mereka tiba, gelombang besar datang dan menghantam bangunan tersebut. Ayesha terseret arus, dan tubuhnya baru ditemukan sekitar lima kilometer dari rumahnya. Beruntung, semua anggota keluarganya selamat.
Peristiwa ini terjadi pada 29-30 April 1991, tepat 34 tahun lalu. Badai tersebut kemudian tercatat sebagai siklon tropis paling mematikan yang pernah melanda Bangladesh.
Menurut laporan Los Angeles Times edisi 4 Agustus 1996, badai siklon itu menewaskan antara 135.000 hingga 145.000 orang. Sebanyak 10 juta jiwa kehilangan tempat tinggal. Selain itu, satu juta ekor ternak dilaporkan hilang, jutaan hektare lahan pertanian rusak parah, menyebabkan kelaparan massal dan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Siklon tropis sebenarnya bukan peristiwa langka di Bangladesh. Namun, studi yang dilakukan pada 1993 berjudul The Bangladesh Cyclone of 1991: Why So Many People Died menjelaskan bahwa besarnya angka korban bukan semata karena kekuatan badai yang mencapai kecepatan 240 kilometer per jam, tetapi juga karena kelalaian sistemik.
Negara itu saat itu tidak memiliki sistem peringatan dini yang memadai. Instrumen yang tersedia sangat terbatas dan distribusi informasi berlangsung lambat. Warga di wilayah rawan bencana tidak mendapatkan informasi cukup cepat untuk menyelamatkan diri.
Lebih buruk lagi, pemahaman masyarakat dan pemerintah terhadap mitigasi bencana sangat minim. Sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan di rumah-rumah sederhana yang mudah hancur saat diterjang badai. Pemerintah pun tak menyediakan cukup tempat evakuasi yang aman bagi warga.
Gelombang laut yang membentuk dinding air setinggi empat meter menyapu habis perkampungan. Ribuan orang tidak sempat melarikan diri. Ratusan ribu nyawa melayang dalam bencana yang sebenarnya dapat diminimalkan dampaknya jika sistem perlindungan dan kesiapsiagaan bencana telah dibangun sebelumnya.
Tragedi ini menjadi pelajaran pahit bahwa kesiapan menghadapi bencana bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kebijakan dan keberpihakan terhadap kelompok rentan yang hidup di garis depan ancaman iklim. (*)