TNI Lacak Dalang di Balik Petisi Tolak RUU TNI, Soroti Dugaan Dana dan Buzzer

MASSA _ Aksi tolak pengesahan Revisi UU TNI makin bertambah. Akses Jalan Gatot Subroto depan gedung DPR RI tidak dapat dilintasi kendaraan. -Foto VOA.--
Radar;lambar.bacakoran.co -Ketegangan baru muncul di lingkaran militer dan penegak hukum. Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini bergerak untuk mengungkap siapa aktor di balik beredarnya petisi penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI dan kampanye "Indonesia Gelap" yang ramai di media sosial. Isu ini mencuat setelah tersangka kasus perintangan penyidikan, Marcella Santoso, menyampaikan pengakuan dalam video permintaan maaf—yang kemudian ia bantah sendiri.
TNI tak tinggal diam. Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, langsung menyambangi Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) di Jakarta. Koordinasi ini dilakukan untuk mendalami lebih lanjut pernyataan Marcella yang dianggap membuka kemungkinan keterlibatan aktor-aktor lain dalam penyebaran konten negatif mengenai RUU TNI.
Fokus pada Aliran Dana dan Penyebaran Isu
Meski tak terbukti menyebarkan langsung konten penolakan, Marcella diduga berperan sebagai penyokong dana. Dugaan awal menyebutkan ada dana Rp 500 juta dan USD 2 juta yang mengalir ke sejumlah pihak, termasuk tim pembuat konten, organisasi masyarakat, hingga individu yang diduga berperan sebagai buzzer digital.
Dugaan ini memperkuat asumsi bahwa penyebaran isu bukan digerakkan oleh masyarakat biasa, melainkan ditopang oleh jaringan yang memiliki sumber daya dan strategi komunikasi profesional. Pihak TNI menduga, aktor-aktor ini memanfaatkan jasa digital marketing atau buzzer politik untuk menyebarkan narasi penolakan secara sistematis di media sosial.
Menyoroti Motif di Balik Petisi
TNI juga mempertanyakan motif di balik penolakan terhadap revisi UU TNI yang dinilai tidak mengandung perubahan fundamental. Bagi mereka, perbedaan antara UU Nomor 34 Tahun 2024 dan UU Nomor 3 Tahun 2025 hanyalah soal teknis, seperti perpanjangan usia pensiun dan penyesuaian pada beberapa lembaga yang selama ini memang sudah bekerja sama dengan TNI.
Namun, konten-konten negatif yang beredar justru membentuk opini bahwa revisi tersebut bersifat berbahaya bagi demokrasi. Narasi-narasi seperti inilah yang kini tengah ditelusuri oleh TNI dan Kejaksaan Agung—mulai dari siapa penciptanya, siapa penyebarnya, hingga motif politik atau hukum di baliknya.
Penelusuran Masih Berlanjut
Penyelidikan terhadap dugaan kampanye hitam ini dipastikan akan meluas. Selain mendalami keterlibatan Marcella, fokus penyidikan juga mengarah pada organisasi non-pemerintah, yayasan, dan individu yang diduga menerima dana dan terlibat dalam produksi serta distribusi konten.
Langkah TNI ini menjadi sinyal kuat bahwa institusi pertahanan tak ingin revisi UU TNI dikerdilkan oleh opini liar di media sosial. Di tengah panasnya perdebatan publik soal reformasi militer, langkah untuk mengungkap siapa sebenarnya yang berada di balik gerakan penolakan ini mungkin akan menjadi babak baru dalam dinamika sipil-militer di Indonesia. (*)