Radarlambar.bacakoran.co -Di balik gedung-gedung pencakar langit Jakarta terdapat kisah yang diam-diam menyimpan pelajaran berharga. Diantaranya datang dari seorang karyawan senior di perusahaan telekomunikasi ternama. Namanya Pak Syarif. Setiap bulan, angka gajinya menyentuh Rp20 juta—jumlah yang terbilang besar untuk seorang staf.
Dengan penghasilan sebesar itu, gaya hidup Pak Syarif tak jauh beda dari eksekutif kelas atas. Mobilnya mengilap, makan siang hampir selalu di restoran, dan kebutuhan sehari-hari tak pernah kekurangan. Semua terlihat sempurna. Rumah sudah dicicil, kendaraan pun sama. Anak-anak bersekolah di tempat terbaik, dan ia sesekali menyisihkan uang—bukan untuk investasi, tapi untuk liburan atau belanja online.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada satu hal penting yang luput dari perhatiannya: masa pensiun. Ketika rekan-rekannya mulai mempersiapkan diri dengan ikut dana pensiun tambahan, Pak Syarif memilih merasa aman. Baginya, pensiun masih lama dan akan ada pesangon serta manfaat dari program jaminan sosial yang bisa diandalkan.
Waktu terus berjalan, seperti biasa tanpa peringatan. Hingga akhirnya, surat dari HRD datang: masa pensiun tiba. Bersamaan dengan perpisahan itu, ia menerima pesangon. Namun, harapannya pupus seketika—sebagian besar dana itu habis untuk melunasi cicilan dan utang yang menumpuk. Sementara dana JHT yang tersisa, jika dibagi rata untuk lima tahun ke depan, hanya bisa menghasilkan sekitar Rp800 ribu per bulan. Jauh dari cukup, apalagi jika dibandingkan dengan gaya hidup lamanya yang penuh kenyamanan.
Kini, hidup Pak Syarif berubah drastis. Ia tinggal bersama anaknya di pinggiran Bogor, jauh dari gemerlap kota yang dulu jadi bagian hidupnya. Istrinya sering mengeluh karena uang belanja pas-pasan, sementara anak-anak yang dulu dimanja, kini terlalu sibuk dengan kehidupan sendiri. Harapan untuk kembali bekerja pun sirna, karena usia tak lagi berpihak.
Dulu, semua terasa aman dan cukup. Tapi hari ini, Pak Syarif hanya bisa menatap langit malam, mengenang masa lalu yang seharusnya bisa lebih bijak. Andai saja sebagian kecil dari gajinya disisihkan untuk masa pensiun, hidupnya mungkin tak akan seberat ini.
Kisah ini menjadi pengingat: gaji besar bukan jaminan hidup nyaman di hari tua. Yang menentukan adalah perencanaan sejak dini. Karena pada akhirnya, pensiun bukan soal usia, tapi soal kesiapan.
Sudahkah kamu menyiapkan masa pensiunmu? (*)
Kategori :