Sri Mulyani Jadi Korban Deepfake, Pakar Peringatkan Bahaya Manipulasi AI terhadap Ruang Publik

Menteri keuangan RI Sri Mulyani. -Foto ig-

Radarlambar.bacakoran.co – Fenomena penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) deepfake kembali menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi korban manipulasi digital. Sebuah video yang beredar di media sosial menampilkan seolah-olah dirinya menyebut guru sebagai beban negara. Konten tersebut ternyata palsu, dibuat melalui teknik deepfake dengan memelintir potongan pidatonya dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu.

Manipulasi tersebut segera menuai kontroversi dan memicu reaksi negatif di ruang publik. Banyak masyarakat menilai pernyataan dalam video itu merendahkan profesi guru, padahal faktanya Sri Mulyani sama sekali tidak pernah mengucapkan kalimat yang dimaksud. Melalui klarifikasi resmi, ia menegaskan bahwa video viral itu adalah hasil rekayasa teknologi dan potongan tidak utuh dari pidato yang sebenarnya.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana deepfake mampu menciptakan distorsi informasi yang berbahaya. Teknologi yang berbasis algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) itu bekerja dengan cara melatih mesin untuk mengenali pola dari jutaan data visual maupun audio, kemudian menghasilkan tiruan yang sangat mirip dengan aslinya. Hasilnya, wajah maupun suara seseorang bisa dipalsukan hingga sulit dibedakan dengan rekaman nyata.

Deepfake pada awalnya muncul sekitar tahun 2017 di forum daring Reddit, ketika seorang pengguna mulai menyebarkan video manipulasi wajah selebritas. Seiring perkembangan teknologi, teknik ini kian canggih dan kini lebih sering digunakan untuk tujuan negatif, termasuk propaganda politik, penyebaran hoaks, hingga perusakan reputasi tokoh publik.

Menurut Cristina Lopez, analis senior di Graphika, deepfake pada dasarnya adalah rekaman sintetis yang diciptakan komputer dengan menggabungkan ribuan data gambar dan suara. Ia menekankan bahwa teknologi ini bisa menjadi alat berbahaya apabila digunakan untuk menciptakan informasi palsu yang tampak meyakinkan.

Hal senada disampaikan oleh peneliti keamanan siber dari Universitas Indonesia, Budi Raharjo, yang menilai kasus Sri Mulyani menjadi alarm serius bagi pemerintah dan masyarakat. Menurutnya, Indonesia harus segera memperkuat regulasi dan sistem deteksi dini terhadap konten manipulatif berbasis AI, karena dampaknya bukan hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan politik.

Dalam kasus Sri Mulyani, video palsu yang beredar memanfaatkan sensitivitas publik terhadap isu kesejahteraan guru. Dengan memelintir narasi yang tidak utuh, pelaku deepfake berhasil menciptakan kebingungan dan memperkeruh opini masyarakat. Fenomena ini mempertegas urgensi literasi digital serta kebutuhan regulasi yang lebih ketat untuk menekan penyalahgunaan AI di Indonesia.

Masyarakat pun diimbau untuk lebih kritis, memverifikasi setiap informasi yang beredar, dan tidak mudah terpancing oleh konten manipulatif yang beredar luas di dunia maya. Kasus ini menunjukkan bahwa siapa pun, termasuk pejabat tinggi negara, bisa menjadi korban kejahilan deepfake.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan