Radarlambar.bacakoran.co – Tanda-tanda perlambatan ekonomi Indonesia semakin nyata terlihat. Berdasarkan analisis terbaru dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sejumlah indikator menunjukkan tekanan yang kian meningkat terhadap perekonomian nasional.
Salah satu sinyal utama dari pelemahan ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kuartal pertama 2025. Pertumbuhan hanya mencapai 4,87% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencatat 5,02%. Jika dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2024, yang mencapai 5,11%, tren penurunan ini semakin mencolok.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tersebut sebagian besar disebabkan oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kuartal pertama 2025, konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh PDB (54,53%) hanya tumbuh 4,89% secara tahunan. Angka ini bahkan lebih buruk dibandingkan pertumbuhan konsumsi dalam empat kuartal sebelumnya yang semuanya berada di kisaran 4,9%, dan jauh di bawah capaian terakhir di atas 5% yang terjadi pada kuartal ketiga 2023.
Pelemahan konsumsi ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang tergerus, yang juga tercermin dari perlambatan inflasi inti serta berbagai komponen inflasi lainnya. Tekanan pada sektor riil juga makin terasa, dengan meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengurangi kemampuan masyarakat untuk berbelanja.
Di sisi eksternal, kondisi ekspor Indonesia juga tidak memberikan harapan besar untuk menjadi pendorong pertumbuhan dalam waktu dekat. Ketegangan dagang global, terutama kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap negara-negara mitra, termasuk China, telah mengganggu stabilitas perdagangan internasional. Akibatnya, aktivitas ekspor-impor Indonesia pun terdampak.
Nilai tukar rupiah pun menunjukkan kecenderungan melemah, meski indeks dolar Amerika Serikat sedang mengalami tekanan. Sejak pemerintahan Presiden Prabowo dimulai, rupiah telah terdepresiasi hingga menyentuh Rp16.858 per dolar AS, atau turun sekitar 9,5% dari nilai awal pemerintahannya.
Dari perspektif fiskal, kondisi Indonesia juga dinilai semakin rapuh. Belanja pemerintah yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan justru mengalami kontraksi. Ini disebabkan bukan hanya oleh penurunan penerimaan negara, tetapi juga oleh lemahnya perencanaan anggaran. Ketiadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersifat definitif pasca kebijakan efisiensi anggaran dianggap turut merusak kepercayaan pelaku ekonomi dan menciptakan persoalan dalam tata kelola pemerintahan.
CSIS menilai bahwa tanpa langkah antisipatif dan perbaikan kebijakan dari pemerintah, awan mendung yang saat ini menyelimuti perekonomian Indonesia dapat berubah menjadi badai yang menghantam secara nyata. Risiko-risiko tersebut perlu segera diatasi agar Indonesia tidak terjebak dalam krisis yang lebih dalam di masa mendatang. *