Harga Sayuran Anjlok, Petani Menjerit

Senin 12 May 2025 - 17:01 WIB
Reporter : Adi Pabara
Editor : Nopriadi

Radarlambar.bacakoran.co - Petani sayur di Lampung Barat merugi. Harga sejumlah komoditas sayuran anjlok drastis dalam beberapa pekan terakhir, membuat para petani kelimpungan. Yang paling terpukul adalah petani wortel dan ubi jalar. 

Bayangkan, harga jualnya hanya Rp 200 per kilogram angka yang bahkan tak cukup untuk menutup ongkos angkut ke pasar.

Pantauan radar lambar di Kecamatan BalikBukit, tepatnya di Pekon Bahway, sejumlah lahan pertanian tampak sepi aktivitas. Para petani mengaku lesu karena harga jual hasil panen mereka merosot tajam tanpa adanya kepastian kapan akan membaik.

Mussopa, salah satu petani wortel, mengungkapkan kekecewaannya. Ia telah menanam wortel di lahan seluas 8 rantai atau sekitar 0,32 hektare. Namun saat panen tiba, harapan untuk mendapatkan keuntungan berubah menjadi mimpi buruk. Wortel yang dipanen nyaris tak laku di pasaran.

“Panen tahun ini bikin kecewa. Harganya cuma Rp 200 per kilo. Itu pun kalau ada yang mau beli. Banyak yang busuk karena tidak laku. Agen juga tidak mau ambil. Katanya tidak menguntungkan,” keluh Mussopa.

Menurut Mussopa, situasi ini tidak dialaminya seorang diri. Hampir seluruh petani di wilayah Lampung Barat, seperti di Kecamatan Balik Bukit, Sukau, hingga Batubrak, mengalami nasib serupa. Hasil panen sayuran seperti kol, wortel, dan ubi jalar tidak terserap maksimal oleh pasar.

Senada dengan Mussopa, Nasir, petani ubi jalar asal Kecamatan Balik bukit, juga mengeluhkan harga yang kian tak masuk akal. Ia menyebut harga ubi jalar kini hanya dihargai Rp 200 per kilogram, padahal biaya produksi untuk satu kilogram bisa mencapai lima kali lipatnya.

“Modal tanam sekarang mahal. Pupuk naik, tenaga kerja juga. Tapi harga jual cuma Rp 200. Petani benar-benar nggak punya penghasilan sekarang. Banyak yang nyerah, lahan dibiarkan begitu saja,” kata Nasir.

Turunnya harga diduga akibat kombinasi dari berbagai faktor. Selain kelebihan pasokan dari daerah lain, distribusi hasil panen dari Lampung Barat ke pasar besar di kota-kota seperti Bandar Lampung dan Metro dinilai tidak efisien. Kurangnya infrastruktur transportasi serta minimnya peran tengkulak atau pengepul turut memperparah situasi.

“Di sini agen sedikit. Mereka juga pilih-pilih. Kalau kualitas sedikit jelek atau hasil terlalu banyak, mereka nggak mau tampung. Akhirnya kami buang atau jadikan pakan ternak,” ungkap petani lainnya, Suparman.

Melihat kondisi yang terus memburuk, para petani mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera bertindak. Mereka mengusulkan adanya langkah-langkah jangka pendek seperti pemberian subsidi harga, bantuan distribusi, hingga pembukaan pasar-pasar baru yang bisa menyerap hasil panen lokal.

“Pemerintah harus hadir. Jangan tunggu kami bangkrut dulu baru bergerak. Ini soal perut rakyat kecil. Kalau tidak ada solusi, banyak keluarga petani yang akan kesulitan makan,” tegas Mussopa.

Ia juga meminta pemerintah mendorong pembentukan koperasi tani, fasilitas gudang penyimpanan yang memadai, serta jalur distribusi tetap agar harga tidak mudah dipermainkan pasar. (adi/nopri)

Kategori :