Radarlambar.bacakoran.co- Hari Raya Waisak kembali diperingati umat Buddha di Indonesia, bertepatan dengan Minggu, 12 Mei 2024.
Perayaan suci ini menjadi momen penting untuk mengenang tiga peristiwa agung dalam kehidupan Buddha Gautama, yang dikenal sebagai Trisuci Waisak: kelahiran, pencerahan, dan wafatnya sang Buddha. Ketiga peristiwa tersebut diyakini terjadi pada hari dan bulan yang sama dalam penanggalan lunar, tepatnya saat bulan purnama atau Purnama Sidhi.
Di Indonesia, peringatan Waisak dipusatkan di kawasan Candi Mendut dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Tradisi ini telah berlangsung sejak 1929 dan semakin menguat setelah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980, serta diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 yang menjadikan Waisak sebagai hari libur nasional.
Tidak hanya menjadi pusat ibadah bagi umat Buddha di dalam negeri, Candi Borobudur kini juga terbuka bagi umat Buddha dari seluruh dunia untuk merayakan Waisak secara khidmat. Hal ini tertuang dalam nota kesepakatan antara empat kementerian dan dua pemerintah provinsi yang ditandatangani pada 11 Februari 2022, yang menyatakan bahwa Candi Borobudur difungsikan kembali sebagai tempat ibadah keagamaan Buddha berskala internasional.
Borobudur sendiri bukan sekadar bangunan batu kuno. Ia adalah mahakarya arsitektur nenek moyang bangsa Indonesia yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Dibangun tanpa semen atau perekat, struktur Borobudur berdiri kokoh berkat teknik penyusunan batu yang disebut interlock, atau saling mengunci seperti permainan puzzle. Setiap batu andesit dipahat dengan presisi, disusun satu per satu membentuk relief dan stupa yang menjulang hingga puncaknya yang mencapai 30 meter.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Noehardi Magetsari, pembangunan Borobudur diawali dengan pembentukan bukit berundak sebagai pondasi utama. Bukit ini kemudian ditimbun dan diratakan dengan tenaga manusia secara massal sebelum batu-batu besar diletakkan. Diperkirakan sebanyak 55.000 meter kubik batu andesit digunakan dalam pembangunan ini. Batu-batu tersebut tidak berasal dari kawasan Borobudur, melainkan didatangkan dari daerah lain, kemudian diangkut dan dipahat secara manual.
Keahlian teknis nenek moyang bangsa ini sungguh luar biasa. Untuk memikul satu balok batu, dibutuhkan setidaknya empat orang. Belum lagi risiko kerja yang tinggi, di mana tak sedikit pekerja pada masa itu yang kehilangan nyawa akibat tertimpa batu atau jatuh dari ketinggian.
Namun di balik segala kesulitan itu, Candi Borobudur akhirnya berdiri sebagai lambang kejayaan budaya dan spiritual Nusantara. Kini, setiap tahun, ribuan umat Buddha dan wisatawan dari berbagai penjuru dunia berkumpul di sana. Mereka menyalakan lentera, melafalkan doa, dan menyusuri jalanan dari Candi Mendut menuju Borobudur dalam prosesi Waisak yang sakral.
Lebih dari sekadar ritual keagamaan, perayaan Waisak di Borobudur adalah pertemuan spiritual lintas negara, perayaan atas keberagaman, dan refleksi tentang perdamaian dunia. Di pelataran batu-batu kuno itulah, suara doa menyatu dengan sejarah, menyampaikan pesan abadi tentang kebajikan dan pencerahan.(*)