Radarlambar.bacakkoran.co- Optimisme pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi nasional dalam enam bulan ke depan menunjukkan tren penurunan signifikan. Hal ini tercermin dalam data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian.
Pada April 2025, angka indeks optimisme hanya mencapai 66,8%, lebih rendah dari posisi Maret 2025 yang sebesar 69,2%. Ini merupakan level terendah dalam 12 bulan terakhir, setelah sebelumnya konsisten berada di atas angka 70%.
Penurunan ini juga sejalan dengan kontraksi tajam yang tercatat pada Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia. Data untuk April 2025 menunjukkan indeks berada di angka 46,7, menurun drastis dari 52,4 pada Maret. Kondisi ini menandai fase kontraksi terdalam sejak Agustus 2021, serta mencerminkan berkurangnya permintaan baru dan tekanan biaya produksi yang meningkat di tengah ketidakpastian pasar global.
Di tengah dinamika tersebut, dunia usaha menilai bahwa rendahnya optimisme bukan semata persoalan persepsi, melainkan cerminan dari persoalan struktural yang belum terselesaikan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengidentifikasi empat tantangan utama yang menjadi akar menurunnya daya saing industri dalam negeri.
Tantangan pertama adalah hambatan regulasi. Berdasarkan survei Roadmap Perekonomian yang dilakukan Apindo, sebanyak 43% pelaku usaha merasa bahwa kebijakan yang berlaku belum sepenuhnya mendukung kelancaran produksi dan peningkatan penjualan. Ketidaksesuaian regulasi di berbagai sektor dinilai memperlambat laju ekspansi usaha.
Tantangan kedua terkait dengan biaya berusaha yang tinggi. Biaya logistik Indonesia yang mencapai 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tergolong mahal jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Tiongkok, dan Singapura. Selain itu, tingginya suku bunga pinjaman, kenaikan upah minimum rata-rata 8% per tahun, serta tingginya cost of compliance akibat birokrasi yang belum efisien menambah beban operasional industri, khususnya sektor padat karya.
Tantangan ketiga muncul dari aspek keamanan berusaha. Praktik-praktik gangguan di luar sistem hukum yang sering terjadi di lapangan menimbulkan ketidakpastian dalam proses produksi dan distribusi, sehingga menghambat kelancaran aktivitas usaha.
Sementara itu, tantangan keempat adalah kualitas sumber daya manusia yang belum memadai. Produktivitas tenaga kerja Indonesia tercatat masih di bawah rata-rata ASEAN. Dominasi tenaga kerja berpendidikan rendah mempersempit peluang peningkatan efisiensi dan inovasi, sedangkan proporsi lulusan perguruan tinggi yang hanya mencapai 12,66% menunjukkan kesenjangan besar dalam kebutuhan industri terhadap tenaga kerja terampil.
Dalam merespons tantangan tersebut, Apindo telah mengambil peran aktif dalam mendukung program transformasi ekonomi nasional. Keterlibatan dalam satuan tugas percepatan ekspor, deregulasi, hingga perluasan lapangan kerja dan mitigasi pemutusan hubungan kerja menjadi bagian dari kontribusi dunia usaha untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional.
Dunia usaha memandang bahwa perbaikan kondisi tidak hanya bisa dilakukan melalui kritik, tetapi juga melalui kontribusi nyata dalam penyusunan solusi dan pengawalan kebijakan agar implementasinya benar-benar berjalan di lapangan.(*)