Radarlambar.bacakoran.co - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghadapi lonjakan laporan dari masyarakat terkait praktik penipuan digital atau scamming yang terjadi secara masif di berbagai platform keuangan dan teknologi. Hingga akhir Mei 2025, tercatat lebih dari 128 ribu laporan diterima oleh Indonesia Anti Scam Center (IASC), pusat pengaduan yang dibentuk untuk menanggapi maraknya kejahatan berbasis digital yang kian meresahkan publik.
Periode pelaporan yang dimulai sejak November 2024 hingga 23 Mei 2025 memperlihatkan skala kejahatan yang tidak dapat dianggap remeh. Data yang dihimpun menyebutkan bahwa total kerugian masyarakat akibat praktik penipuan ini telah mencapai Rp2,6 triliun. Dari total dana tersebut, pihak OJK bersama lembaga terkait hanya berhasil membekukan sekitar Rp163 miliar. Jumlah tersebut memang relatif kecil jika dibandingkan total kerugian, namun menunjukkan adanya mekanisme yang mulai bekerja dalam melindungi hak-hak konsumen sektor keuangan.
Dampak dari kejahatan siber di sektor keuangan tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap ekosistem digital yang tengah dikembangkan. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah jumlah rekening yang dilaporkan terkait kasus penipuan. OJK mencatat sebanyak 208.233 rekening yang teridentifikasi dalam berbagai laporan scamming, dengan 47.891 rekening di antaranya telah berhasil diblokir. Hal ini menunjukkan tingginya keterlibatan entitas digital dalam aktivitas ilegal, sekaligus menggambarkan luasnya jaringan kejahatan yang tengah berkembang.
Di tengah tekanan itu, OJK juga mengambil langkah penegakan hukum administratif terhadap para pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang dianggap lalai atau tidak menjalankan prinsip kehati-hatian. Selama periode Januari hingga Mei 2025, lembaga tersebut telah mengeluarkan 63 peringatan tertulis kepada 56 PUJK serta menjatuhkan 23 sanksi berupa denda kepada 22 pelaku usaha. Sanksi ini diharapkan memberikan efek jera sekaligus memperkuat tata kelola perusahaan dalam mengantisipasi kejahatan digital.
Meskipun tantangan perlindungan konsumen terus meningkat, sektor keuangan menunjukkan tanda-tanda positif dari sisi pemahaman dan partisipasi masyarakat. Melalui Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dilakukan oleh OJK bersama Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat peningkatan pada dua indikator utama. Indeks literasi keuangan nasional kini mencapai 66,46 persen, naik dibanding tahun sebelumnya yang berada di angka 65,43 persen. Sementara itu, indeks inklusi keuangan meningkat signifikan dari 75,02 persen menjadi 80,51 persen.
Peningkatan ini mencerminkan hasil dari berbagai program edukasi keuangan yang dijalankan secara masif oleh OJK, lembaga keuangan, dan instansi pendidikan. Meski demikian, keberhasilan angka statistik tersebut masih menghadapi tantangan nyata berupa rendahnya kewaspadaan terhadap modus penipuan yang kian kompleks. Pelaku scamming kini tidak hanya menyasar masyarakat berpenghasilan rendah, namun juga kelompok berpendidikan dan kalangan profesional.
OJK menegaskan bahwa upaya perlindungan konsumen akan terus ditingkatkan, baik melalui jalur penegakan hukum, pembaruan kebijakan, maupun penguatan edukasi. Ke depan, masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dalam bertransaksi, serta aktif melaporkan aktivitas mencurigakan demi menciptakan ekosistem keuangan digital yang aman dan berkelanjutan.(*/edi)