Dari Kyiv ke Washington: Suara Jurnalis Indonesia di Tengah Ledakan Bom dan Bising Propaganda

Kamis 12 Jun 2025 - 14:02 WIB
Reporter : Nopriadi
Editor : Nopriadi

Radarlambar.bacakoran.co -— Suara dentuman terdengar lirih dari kejauhan. Lalu semakin keras. Langit Kyiv bergemuruh. Di sebuah bunker sempit, Patsy Widakuswara meringkuk bersama sejumlah jurnalis internasional, menunggu waktu aman untuk keluar. Ia bukan tentara, bukan diplomat. Ia seorang jurnalis — berdarah Indonesia, menjabat Kepala Biro Gedung Putih untuk Voice of America (VOA).

Tapi hari itu, di bulan Mei 2025, bahaya tak cuma datang dari langit Ukraina. Ada yang lebih mengganggu pikirannya: ancaman dari dalam rumah sendiri — Amerika Serikat, tempat medianya berpijak sejak Perang Dunia II.

Ketika Patsy sedang berada di Kyiv menghadiri forum kebebasan pers global, kabar mengejutkan datang: jaringan pro-Trump, One America News (OAN), akan mulai mengisi konten berita di VOA. Bagi banyak jurnalis, ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata — lembaga penyiaran independen yang selama puluhan tahun berdiri melawan propaganda, kini justru dianggap tunduk pada tekanan politik dalam negeri.

"Bayangkan," ungkap Patsy kepada rekannya di sela-sela forum, "di saat saya bersembunyi dari serangan bom Rusia, saya mendengar kalau kantor saya akan menayangkan konten propaganda..."

Krisis dari Dalam: Ketika Media Publik Disusupi Agenda Politik
VOA memang sedang menghadapi masa paling kelam dalam sejarahnya. Sejak Maret, pendanaan mereka dibekukan oleh administrasi Trump. US Agency for Global Media (USAGM), induk lembaga penyiaran seperti VOA dan Radio Free Asia (RFA), dianggap sebagai “beban” oleh para loyalis Trump.

Sebagai gantinya, jaringan seperti OAN — yang dikenal sebagai corong propaganda sayap kanan — ditawarkan mengisi konten secara gratis. Gratis, tapi tak bebas. Gratis, tapi penuh pesan politik. Dan yang paling meresahkan: konten itu akan masuk ke ruang redaksi yang selama ini berjuang menjaga jarak dari kekuasaan.

Sebagai jurnalis kawakan, Patsy tahu benar nilai dari sebuah berita yang independen. “VOA lahir untuk melawan propaganda Nazi. Dan sekarang, ia terancam berubah menjadi alat propaganda negara sendiri,” gumamnya getir.

Suara-Suara yang Dilumpuhkan, Frekuensi yang Dicuri
Dampaknya bukan hanya di Amerika. Di banyak negara, terutama yang membungkam kebebasan pers, VOA dan RFA menjadi cahaya kecil yang memberi harapan. Di Myanmar, Kamboja, hingga Xinjiang—suara mereka menjadi nadi informasi alternatif bagi rakyat yang tercekik sensor.

Namun ketika siaran pendek Radio Free Asia dihentikan, China langsung mengambil alih. Tak tanggung-tanggung, 82 siaran baru langsung mengudara, bahkan menggunakan frekuensi yang dulu dipakai oleh RFA. Ironis dan tragis: ruang yang kosong langsung diisi propaganda.

Gulchehra Hoja, jurnalis RFA asal Uighur, tahu betul harga dari pekerjaan ini. Keluarganya—24 orang—ditahan di kamp akibat laporan-laporannya. Tapi ia memilih tetap bersuara. "Diam berarti kalah," katanya suatu waktu.

Ancaman Balik Kampung: Ratusan Wartawan VOA Terancam Terusir
Masalah tak berhenti di ruang redaksi. Hampir 1.300 staf VOA telah dipaksa cuti. Sebanyak 600 kontraktor asing—termasuk dari Asia dan Afrika—terancam kehilangan pekerjaan. Visa mereka bergantung pada status pekerjaan. Tanpa itu, mereka bisa dipulangkan ke negara asal. Dan di beberapa kasus, pulang berarti ditangkap atau dibungkam.

Patsy dan banyak jurnalis lain kini bukan hanya memperjuangkan idealisme. Mereka sedang mempertahankan eksistensi. “Kalau media publik dikendalikan kekuasaan, siapa lagi yang mengawasi penguasa?” tanyanya tajam. (*)

Kategori :