Radarlambar.bacakorna.co -Ketegangan kawasan Timur Tengah kian meningkat menyusul keputusan Amerika Serikat untuk mendukung aksi militer Israel terhadap Iran. Langkah ini menjadi pemicu perhatian global, terutama di kalangan negara-negara mayoritas Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke sejumlah fasilitas nuklir utama Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan, pada Ahad (22/6/2025). Aksi ini diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump melalui media sosial dan disebut sebagai operasi militer yang "sangat sukses". Pesawat-pesawat tempur AS dilaporkan telah kembali keluar dari wilayah udara Iran setelah menyelesaikan misinya.
Sebagai respons atas eskalasi konflik yang semakin panas, OKI menggelar sidang khusus atas permintaan Iran. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup dan menjadi bagian dari Sidang ke-51 Dewan Menteri Luar Negeri OKI yang diselenggarakan di Istanbul, Turki. Agenda darurat ini menyoroti konflik bersenjata yang kini menyeret kekuatan besar dunia dan berpotensi mengguncang stabilitas regional secara lebih luas.
Sidang yang diadakan di bawah tema “OKI di Dunia yang Bertransformasi” ini dihadiri oleh delegasi dari 57 negara anggota, termasuk 43 menteri luar negeri dan lima wakil menteri. Selain itu, hampir 30 organisasi internasional juga ikut serta, seperti PBB, Liga Arab, Organisasi Perdagangan Dunia, hingga Organisasi Negara-Negara Turki.
Istanbul kembali menjadi pusat perhatian diplomasi global, terutama dalam upaya mencegah meluasnya perang yang dapat berdampak sistemik. OKI mengingatkan bahwa serangan terhadap Iran merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara anggota PBB dan ancaman nyata terhadap perdamaian kawasan.
Dalam waktu bersamaan, AS dikabarkan telah mengerahkan enam unit pesawat bomber siluman B-2 ke pangkalan militernya di Guam, sebuah sinyal kuat kesiapan militer lanjutan di kawasan Pasifik.
Pemerintah Iran, melalui Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, menyampaikan keprihatinan atas keterlibatan AS dalam konflik ini. Iran menyebut keterlibatan tersebut sebagai langkah berbahaya yang dapat menggagalkan peluang dialog dan menjerumuskan kawasan ke dalam spiral kekerasan yang lebih dalam. Iran menyatakan kesiapan untuk kembali ke meja perundingan, namun menegaskan bahwa syarat utama bagi upaya diplomasi adalah penghentian agresi bersenjata.
Konflik antara Iran dan Israel sendiri pecah sejak 13 Juni 2025, ketika Israel meluncurkan serangan ke sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran. Iran merespons dengan rentetan serangan balasan, termasuk rudal dan drone ke wilayah Israel. Korban jiwa dilaporkan terus bertambah di kedua belah pihak. Israel mengklaim lebih dari 25 orang tewas, sementara Iran melaporkan korban meninggal mencapai 430 jiwa dengan ribuan lainnya terluka.
Situasi ini menjadi perhatian serius berbagai pihak. Negara-negara anggota OKI mendesak Dewan Keamanan PBB untuk bertindak segera demi menghentikan eskalasi. Mereka juga mengimbau kembalinya perundingan terkait program nuklir Iran serta penegakan prinsip nonproliferasi senjata nuklir di kawasan.
Konflik Iran-Israel, yang kini menyeret keterlibatan militer AS secara langsung, berpotensi memperluas ketidakstabilan hingga ke wilayah Teluk dan Timur Tengah secara keseluruhan. Dengan latar belakang sejarah panjang dan sensitivitas kawasan, keputusan diplomatik dalam sidang darurat OKI ini akan menjadi salah satu penentu arah krisis ke depan.
Kategori :