SUMBERJAYA - Upaya mediasi, melalui rembuk pekon yang difasilitasi aparatur pemerintahan Pekon Way Petai, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat (Lambar), terkait penutupan jalan masuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) 2X3 Megawatt, oleh warga yang sebelumnya merasa dirugikan terkait pembebasan lahan pada Selasa 20 Agustus 2024, akhirnya melahirkan solusi.
Dalam rembuk itu, pihak PT Adimitra, Perusahaan Pelaksana Pembangunan PT Wijaya Karya Rekayasa Konstruksi (WIKA Rekon) serta warga pemilik lahan dan pihak warga, yang juga dihadiri Camat Sumberjaya Agus Hadi Purnama, S.I.P., Kapolsek Sumberjaya AKP Rekson Syahrul, dan anggota, serta pihak Koramil Sumber Jaya dipertemukan.
Peratin Way Petai, Sutan Sahril mengungkapkan, pertemuan itu membahas permasalahan tiga keluarga yang menuntut pihak perusahaan untuk bertanggungjawab kelebihan ukuran lahan yang dibebaskan serta dampak bangunan yang ditimbulkan.
Dalam kesepakatan awal total biaya pembebasan kelebihan lahan untuk tiga keluarga tersebut sebesar Rp310.000.000, atas dampak lingkungan yang ditimbulkan, yakni tanah galian lahan yang di bebaskan di buang di lahan warga yang statusnya masih kebun kopi.
Perwakilan warga, Ruswan menyampaikan jika dari tuntutan awal mengalami penurunan menjadi Rp253.000.000, pihak perusaan telah menyetujui dan dengan jumlah yang ditetapkan Rp253.000.000, akan dibayar dalam kurun waktu tiga hari.
”Jika nanti dari pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN) lahan kurang dari yang disebutkan pemilik lahan maka ukuran akan di cukupkan," katanya.
"Ganti rugi ini juga telah masuk dalam kompensasi dampak bangunan yakni penimbunan lahan kopi yang terkena," sambungnya.
Sementara, Camat Sumber Jaya Agus Hadi Purnama mengatakan, dalam rembuk itu kecamatan, polsek dan koramil hadir atas undangan pihak pekon dengan kapasitas memfasilitasi dan mediasi persoalan warga yang terjadi.
"Dari rembuk tersebut saya cermati persoalan yang terjadi, merupakan tuntutan lahan yang terdampak dari pekerjaan, dan atas masalah itu antar pihak telah memiliki kesepakatan dalam penyelesaiannya," ujar Agus.
Sementara itu, salah seorang sumber terpercaya menyampaikan, munculnya persoalan tersebut dilatar belakangi kurangnya koordinasi kerja antara pihak PT Adimitra, Perusahaan Pelaksana Pembangunan PT WIKA Rekon.
Dalam rembuk tersebut adanya penekanan dari warga agar pihak PLMH melakukan upaya penanganan dampak lingkungan, seperti pemasangan.
Dimana dalam pelaksanaan kerja WIKA Rekon melaksanakan pekerjaan, seperti dalam pembukaan badan jalan, dan material tanah di buang di sekitaran lokasi.
Namun lokasi tersebut tidak masuk dalam pembebasan dan yang jadi permasalahannya meski begitu pihak PT Adimitra juga melakukan pembiaran. Masyarakat pemilik lahan melakukan tuntutan.
Prihal kedua, saat pengukuran awal dalam pembebasan lahan oleh pihak PT Adimitra tidak di sertai pemilik lahan. Sehingga ketika pemilik lahan melajukan pengukuran ulang terjadi kelebihan.
"Kami juga telah beberapa kali minta peta awal pembebasan lahan milik PT Adimitra. Namun sampai sekarang belum diberikan," tandasnya.