Bashar Al Assad: Pernyataan Pertama Setelah Kejatuhan Rezimnya

Bashar al-Assad ,mendapatkan suaka politik dari Rusia. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Mantan Presiden Suriah, Bashar Al Assad, akhirnya mengeluarkan pernyataan pertamanya setelah rezimnya digulingkan oleh pasukan pemberontak pada awal Desember 2024. Dalam sebuah unggahan yang disebarkan melalui saluran Telegram kepresidenan, Assad mengungkapkan pandangannya mengenai situasi yang terjadi, serta menjelaskan proses kepergiannya dari ibu kota Damaskus.
Kepergian dari Damaskus merupakan sebuah Keputusan yang Dipaksa oleh Kondisi
Assad yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang sangat bertekad dalam mempertahankan kekuasaannya menegaskan bahwa ia tidak pernah berpikir untuk mengundurkan diri atau mencari perlindungan. Dalam pernyataan yang dikeluarkan, Assad menyatakan, "Tidak ada satu pun selama peristiwa ini saya berpikir untuk mengundurkan diri atau mencari perlindungan. Satu-satunya tindakan yang dapat saya lakukan adalah terus berjuang melawan serangan teroris."
Namun, keadaan berubah drastis ketika pasukan pemberontak yang semakin kuat berhasil menyerbu Damaskus. Pasukan Assad yang telah lama terdesak, akhirnya mengalami kekalahan besar. Saat itulah, pangkalan udara tempat Assad berada diserang oleh pesawat tanpa awak. Keadaan yang semakin memburuk memaksa Rusia, yang selama ini menjadi sekutu dekat rezim Suriah, untuk melakukan evakuasi terhadap Assad dan keluarganya. Pada 8 Desember 2024, Assad meninggalkan Damaskus menuju Rusia, setelah pasukannya gagal mempertahankan kota tersebut.
Alasan di Balik Keputusan Evakuasi
Assad menjelaskan bahwa ia tetap berada di Damaskus selama mungkin, menjalankan tugasnya hingga pasukan pemberontak berhasil memasuki ibu kota. Ketika situasi semakin memburuk dan pasukan pemberontak mendekat, keputusan untuk meninggalkan Damaskus menjadi tak terhindarkan. Rusia, yang telah menjadi mitra militer utama bagi Suriah, melakukan evakuasi terhadap Assad dan keluarganya ke pangkalan mereka di Latakia sebelum akhirnya mengatur perjalanan menuju Moskwa.
Karena tidak ada cara yang layak untuk meninggalkan pangkalan itu Moskwa meminta komando pangkalan untuk mengatur evakuasi segera ke Rusia. Keberadaan dirinya, beserta istrinya Asma dan tiga anak mereka, sebelumnya tidak diketahui publik hingga Rusia mengonfirmasi bahwa mereka telah meninggalkan Suriah setelah berunding dengan kelompok pemberontak.
Tidak Mencari Keuntungan Pribadi
Meskipun keadaan politiknya yang semakin terdesak, Assad tetap menegaskan bahwa selama masa pemerintahannya, ia tidak pernah mencari keuntungan pribadi atau kekayaan. Sebaliknya, ia menganggap dirinya sebagai "penjaga proyek nasional" yang didukung oleh keyakinan rakyat Suriah. Ia menyatakan bahwa, meskipun menghadapi tekanan luar biasa, ia selalu berusaha bertindak sesuai dengan keinginan rakyat Suriah.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pernyataan ini. Para pemimpin pemberontak, khususnya dari kelompok Hayat Tahrir Al Sham (HTS), yang berhasil menggulingkan pemerintahannya, menuduh Assad bertanggung jawab atas berbagai kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahannya. Mereka berjanji untuk membawa Assad dan kroni-kroninya ke pengadilan internasional.
Buronan Internasional dan Tuduhan Kejahatan Perang
Seiring dengan kejatuhan rezimnya, Assad kini menjadi buronan internasional. Negara-negara seperti Prancis telah mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional terhadapnya dan beberapa anggota keluarganya, termasuk saudaranya Maher, serta dua jenderal angkatan darat, atas dugaan keterlibatan mereka dalam kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu peristiwa paling terkenal adalah serangan kimia yang terjadi pada 2013 di pinggiran kota Damaskus, yang diduga melibatkan pemerintahannya dan menyebabkan ratusan warga sipil tewas.
Selain itu, laporan-laporan dari kelompok hak asasi manusia, seperti Amnesty International, menyebutkan bahwa pemerintah Assad secara sistematis terlibat dalam penyiksaan, dengan kompleks penjara Sednaya yang terkenal sebagai "rumah pemotongan manusia," tempat eksekusi massal dan penyiksaan dilakukan secara rutin.
Perang Saudara Suriah: Sebuah Konflik yang Tak Kunjung Usai
Perang saudara Suriah, yang dimulai pada 2011, telah mengakibatkan lebih dari 300.000 kematian warga sipil pada 2021, dengan jumlah korban tewas dari kalangan pejuang diperkirakan mencapai 250.000 dalam dekade pertama konflik tersebut. Konflik ini bukan hanya menjadi perjuangan antara pasukan pemerintah dan pemberontak, tetapi juga menarik keterlibatan banyak kekuatan internasional, termasuk Rusia dan Amerika Serikat.
PBB dan berbagai organisasi hak asasi manusia mencatat bahwa meskipun konflik ini telah mereda di beberapa wilayah, banyak pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia masih terus terjadi. Kejatuhan Assad menjadi simbol dari panjangnya ketidakpastian di Suriah, namun juga memberi harapan bahwa keadilan mungkin bisa ditegakkan untuk para korban perang yang telah menderita selama lebih dari satu dekade.
Penutup
Pernyataan pertama Bashar Al Assad setelah kejatuhan rezimnya mencerminkan kebingungannya atas situasi yang terjadi, namun juga menunjukkan tekad yang kuat untuk berjuang meskipun pasukan dan kekuasaannya runtuh. Meskipun ia berusaha menggambarkan dirinya sebagai penjaga bangsa, bukti-bukti pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kejahatan perang yang terjadi di bawah pemerintahannya akan terus menghantui nama baiknya. Kini, meskipun ia telah meninggalkan Suriah, perjalanan panjang untuk mencari keadilan dan pertanggungjawaban atas kekejaman yang terjadi selama pemerintahan Assad masih jauh dari selesai. (*)