Fenomena Pinjaman Online (Pinjol) Masuk Kampus: Tantangan dan Kontroversi di Dunia Pendidikan
Foto: Shutterstock--
Radarlambar.Bacakoran.co - Fenomena pinjaman online atau pinjol telah lama menjadi bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah keuangan mendesak. Namun, belakangan ini, istilah "gali lubang tutup lubang" yang biasa menggambarkan upaya meminjam untuk melunasi utang, semakin populer di kalangan mahasiswa. Fenomena ini muncul seiring dengan berkembangnya kerja sama antara sejumlah universitas di Indonesia dengan penyedia layanan pinjaman online untuk pembayaran uang kuliah tunggal (UKT).
Pinjol: Solusi atau Masalah?
Sejak Agustus 2023, sejumlah kampus mulai menjalin kerja sama dengan platform pinjaman online seperti PT Inclusive Finance Group (Danacita) untuk menawarkan skema pembayaran UKT. Layanan ini diklaim sebagai solusi bagi mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah. Hingga Mei 2024, sebanyak 82 universitas dan sekolah tinggi di Indonesia telah menggunakan sistem pembayaran UKT melalui pinjaman online.
Salah satu universitas yang terlibat dalam kerja sama ini adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Melalui platform Danacita, ITB menawarkan solusi pembayaran UKT dengan bunga bulanan sebesar 1,75%. Meskipun banyak pihak menganggap ini sebagai solusi praktis bagi mahasiswa yang terhambat biaya, pihak ITB menegaskan bahwa kerja sama ini tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB, Muhammad Abduh, menekankan bahwa program ini ditujukan semata-mata untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan finansial.
Namun, kerja sama serupa juga terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Di UGM, program ini berlaku untuk mahasiswa program pascasarjana di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), yang telah bekerja dan dapat membayar pinjaman sesuai kemampuan finansial mereka. Pihak kampus menjamin bahwa pinjaman tidak diterima oleh mahasiswa secara pribadi, melainkan langsung disalurkan ke rekening fakultas.
Pengawasan dan Regulasi
Fenomena ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sardjito, menyatakan bahwa OJK telah memanggil Danacita untuk memeriksa praktik ini. Meski begitu, Sardjito menegaskan bahwa OJK tidak memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan kampus terkait pembayaran UKT. Meski demikian, ia mengingatkan pentingnya bagi pihak kampus untuk mencari solusi terbaik bagi mahasiswa, tanpa menambah beban keuangan yang dapat menjerat mereka lebih jauh.
Lebih lanjut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) melalui Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Nizam, menyampaikan bahwa pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia memang masih bergantung pada partisipasi masyarakat. Pemerintah tengah mengkaji skema pinjaman tanpa bunga untuk mahasiswa, seperti yang diterapkan di Australia dengan sistem "income contingent loan". Dalam skema tersebut, mahasiswa baru akan mulai membayar kembali pinjaman setelah mereka bekerja dan memiliki penghasilan yang melebihi batas tertentu.
Kritik dari Berbagai Pihak
Fenomena kerja sama antara universitas dan pinjaman online juga mendapatkan kritik tajam dari sejumlah anggota legislatif dan pengamat pendidikan. Anggota Komisi X DPR RI, AS Sukawijaya, menyatakan bahwa masuknya pinjol ke kampus merupakan hal yang disayangkan. Menurutnya, ini bisa menambah beban keuangan mahasiswa dan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) jelas menyebutkan bahwa pinjaman pendidikan tidak boleh dikenakan bunga, yang bertentangan dengan praktik pinjaman online.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih juga mengkritik langkah ini, karena menurutnya pendidikan adalah tanggung jawab negara, dan seharusnya pemerintah menyediakan anggaran yang cukup untuk membiayai pendidikan tinggi, bukan justru mendorong mahasiswa untuk bergantung pada pinjaman online. Fikri mengusulkan adanya pembaharuan terhadap struktur dan formula anggaran pendidikan di Indonesia agar masalah seperti ini dapat dihindari di masa depan.
Di sisi lain, pengamat pendidikan, Cecep Darmawan, menilai bahwa universitas yang bekerja sama dengan pinjol terlalu pragmatis dan kurang kreatif dalam mencari solusi bagi mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. Ia menegaskan bahwa kampus seharusnya mencari alternatif yang lebih baik untuk membantu mahasiswa, bukan menyerahkan masalah ini kepada pihak pinjaman yang bisa menjerat mahasiswa dengan bunga yang tinggi.
Solusi atau Risiko?
Fenomena pinjol masuk kampus memang memunculkan perdebatan panjang. Sementara beberapa pihak melihatnya sebagai solusi praktis untuk membantu mahasiswa yang kesulitan membayar kuliah, banyak juga yang khawatir dengan dampak jangka panjang dari praktik ini. Terlebih lagi, jika bunga pinjaman yang diterapkan cukup tinggi, mahasiswa bisa terjebak dalam siklus utang yang sulit dilunasi.
Dengan begitu, pihak universitas, pemerintah, dan lembaga terkait perlu bekerja sama untuk menemukan solusi terbaik bagi masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Jangan sampai niat baik untuk membantu mahasiswa, justru malah menambah beban dan masalah baru bagi mereka.(*)