Mahkamah Konstitusi Memutuskan Perkawinan Harus Berdasarkan Agama untuk Sah di Mata Negara
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut. Perkawinan yang tidak mengikuti prinsip atau aturan agama tertentu tidak akan diakui sebagai perkawinan yang sah oleh negara.
Putusan MK ini terkait dengan uji materiil Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang sahnya perkawinan di Indonesia. Menurut MK, tanpa adanya agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan ada perkawinan yang sah menurut hukum negara.
Pernyataan Hakim MK
Arief Hidayat selaku Ketua Majelis Hakim MK dalam sidang yang digelar pada Jumat 3 Januari 2025, menyampaikan tanpa adanya agama serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianut atau ditentukan oleh warga negara yang akan melangsungkan perkawinan maka tidak akan timbul sesuatu yang disebut dengan perkawinan yang sah.
Putusan ini menguatkan bahwa perkawinan di Indonesia bukan hanya urusan administratif atau legal, tetapi juga melibatkan dimensi agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua belah pihak yang menikah.
Pandangan MK Mengenai Perkawinan dan Agama
MK berpendapat bahwa aturan yang mengharuskan perkawinan dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan tertentu tidak bisa dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif. Sebaliknya, MK melihat bahwa prinsip ketuhanan, yang tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), memang mengharuskan adanya hubungan antara perkawinan dengan keyakinan agama.
Arief Hidayat menegaskan, "Perkawinan tidak terlepas dari prinsip-prinsip ketuhanan, sesuai dengan amanat UUD 1945 sebagai dasar hukum dan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang juga berprinsip ketuhanan."
Dengan demikian, mengatur perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah suatu tindakan yang diskriminatif, melainkan merupakan upaya untuk memastikan bahwa norma-norma ketuhanan tetap dihormati dalam setiap proses perkawinan.
Perkawinan sebagai Bentuk Ibadah
Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa perkawinan adalah ibadah dan sekaligus ekspresi dalam beragama atau berkepercayaan. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan akan sepenuhnya diserahkan kepada aturan agama atau kepercayaan masing-masing pihak yang menikah, dan bukan menjadi wewenang negara untuk mengatur secara rinci.
Arief Hidayat menambahkan untuk syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama serta kepercayaan.
Penolakan Gugatan
Dalam putusannya, MK memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh para pemohon yang menganggap Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan tidak konstitusional. MK menyatakan bahwa argumen yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum, karena sudah sesuai dengan prinsip ketuhanan dalam konstitusi negara.
Larangan Tidak Menganut Agama atau Kepercayaan
Selain itu, MK juga menetapkan bahwa masyarakat Indonesia diwajibkan untuk menganut agama atau kepercayaan. Hal ini sejalan dengan prinsip UUD 1945, yang secara tegas meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar konstitusional negara. Dengan demikian, MK menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui keberadaan Tuhan dalam konstitusinya, yang mengarah pada kebijakan yang bersifat religius atau godly constitution.
Dampak dari Keputusan MK
Keputusan ini berimplikasi besar bagi masyarakat Indonesia, karena perkawinan tanpa dasar agama atau kepercayaan tidak akan diakui sebagai sah menurut negara. Masyarakat yang hendak menikah, baik itu melalui jalur pernikahan agama ataupun kepercayaan, harus memastikan bahwa mereka memenuhi syarat-syarat agama masing-masing.
Namun, meskipun MK mewajibkan perkawinan berdasarkan agama, ini tidak serta merta menghilangkan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945, melainkan lebih kepada pengakuan bahwa perkawinan adalah institusi yang tak terpisahkan dari prinsip ketuhanan.
Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa untuk dianggap sah oleh negara, setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan agama atau kepercayaan yang dianut oleh kedua mempelai. Perkawinan tanpa agama maupun kepercayaan tak akan sah di mata negara. Keputusan ini menegaskan bahwa agama dan ketuhanan merupakan elemen yang tak terpisahkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. (*)