Way Haru, Ujung Pulau Sumatera yang Tetinggal
GUNAKAN RAKIT : Warga di wilayah terpencil hingga kini masih menggunakan rakit untuk menyeberangi muara sungai. Foto Dok--
Berjuang Lintasi Tujuh Muara, Mencari Kemerdekaan yang Hilang
Radarlambar.bacakoran.co - Di Ujung Kabupaten Pesisir Barat, tepatnya di Kecamatan Bangkunat, ada cerita heroik yang terlupakan. Di balik angin laut yang berhembus dan deburan ombak yang menghantam pantai, ada masyarakat dari empat pekon—Pekon Bandar Dalam, Way Tiyas, Siring Gading, dan Way Haru—yang berjuang tanpa henti menghadapi kerasnya alam.
Setiap hari, mereka melawan arus kehidupan, bertaruh nyawa untuk melintasi tujuh muara sungai besar yang membelah wilayah mereka. Tanpa ada jembatan penyeberangan yang layak, rakit menjadi satu-satunya penghubung mereka dengan dunia luar, sebuah penghubung yang sarat dengan bahaya dan tantangan.
Kondisi ini sudah menjadi kenyataan pahit yang mereka terima bertahun-tahun lamanya. Berbagai keluhan telah disuarakan, namun pemerintah seakan menutup mata terhadap penderitaan yang mereka alami. Warga tidak hanya bergulat dengan keterbatasan transportasi, tetapi juga dengan ketidakpastian yang mengancam setiap kali mereka harus menyeberangi sungai.
Bagi warga Way Haru dan pekon-pekon lainnya, rakit adalah segalanya. Seperti janji setia yang tak bisa diingkari, rakit menjadi kendaraan utama yang membawa mereka melintasi tujuh muara sungai, yang seakan menjadi tembok besar pemisah dunia mereka dari luar.
”Kami tidak punya pilihan lain. Kami harus menggunakan rakit untuk berpindah dari satu pekon ke pekon lain, atau menuju pasar,” ungkap Peratin Pekon Way Haru, Dian Setiawan, dengan wajah yang lelah namun penuh harapan.
Namun, rakit bukanlah transportasi yang aman. Ketika musim hujan datang, sungai yang biasanya tenang berubah menjadi ganas. Air yang meluap dan arus yang semakin kuat membuat rakit tak mampu lagi berfungsi dengan baik.
Saat itu, mereka terpaksa menantang maut dengan menyeberangi sungai dengan berjalan kaki, sebuah perjalanan yang jauh lebih berisiko. Seperti berjalan di atas tali, setiap langkah terasa penuh dengan ancaman.
Setiap langkah di atas rakit atau di tepi sungai adalah pertaruhan hidup dan mati. Bagi mereka yang membawa barang dagangan atau anak-anak, risiko semakin besar. Arus deras bisa menyeret siapa saja, bahkan yang paling berhati-hati.
Tak jarang kejadian tragis menimpa warga yang nekat menyeberangi sungai dalam kondisi berbahaya. Rakit yang seharusnya menjadi penolong, kini justru menjadi simbol ketidakberdayaan yang mereka hadapi setiap hari.
”Air sungai sering kali terlalu tinggi dan deras. Jika rakit tidak bisa digunakan, kami hanya bisa berjalan di atas bebatuan yang licin, bertaruh nyawa, menantang arus yang bisa datang kapan saja. Ini sangat berbahaya,” tambah Dian Setiawan.
Meskipun hidup dalam ancaman setiap hari, harapan masyarakat Way Haru dan sekitarnya tetap hidup. Keinginan mereka sederhana, namun amat mendalam: mereka hanya ingin hidup dengan aman. Mereka tidak meminta infrastruktur mewah, hanya sebuah jembatan gantung atau sarana penyeberangan yang bisa digunakan saat banjir melanda. Sesuatu yang bisa melindungi mereka dari bahaya yang selalu mengintai.
”Kami tidak meminta banyak, hanya ingin jembatan gantung yang bisa menghubungkan kami dengan dunia luar, agar kami bisa hidup lebih aman. Tanpa rasa takut setiap kali melintasi sungai,” tutur Dian Setiawan.
Masyarakat di empat pekon ini sudah begitu lelah hidup dalam ketidakpastian. Setiap kali mereka menyeberangi sungai, mereka seperti berjalan di atas garis tipis antara kehidupan dan kematian. Mereka tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga untuk mendapatkan akses yang layak, yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang tidak harus dihiasi dengan ketakutan dan kecemasan.