Wacana Pengelolaan Tambang oleh Universitas Disebut Hanya “Gimmick”
Ilustrasi tambang batubara.--Foto Dok---
Radarlambar.bacakoran.co - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, memberikan penilaian tajam terhadap rencana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan ke empat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan Batubara.
Menurut Bisman, meskipun perguruan tinggi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) disebut-sebut sebagai penerima WIUPK, wacana ini lebih mirip dengan trik dan ‘gimmick’ untuk melancarkan jalan bagi badan usaha swasta untuk memperoleh akses ke lokasi pertambangan yang seharusnya melalui prosedur lelang yang lebih transparan.
Bisman menyoroti bahwa dalam praktiknya, pemberian WIUPK ini memiliki potensi besar untuk menyembunyikan mekanisme yang lebih luas yang memungkinkan swasta memperoleh lokasi pertambangan tanpa harus melalui seleksi terbuka. Sebagai salah satu elemen utama dalam RUU Minerba, pengaturan ini memberikan prioritas kepada badan usaha swasta untuk mendapatkan izin lokasi tambang dengan memanfaatkan stempel prioritas, tanpa adanya proses lelang yang biasanya menjamin kompetisi dan transparansi.
Dalam hal ini, meskipun perguruan tinggi dan UMKM mendapatkan sorotan karena mereka dianggap sebagai penerima manfaat dari kebijakan ini, Bisman berpendapat bahwa sebenarnya kebijakan ini lebih menguntungkan sektor swasta yang besar.
Mengacu pada Pasal 51B dalam RUU Minerba, WIUPK untuk mineral logam yang digunakan dalam rangka hilirisasi memang dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan menggunakan mekanisme prioritas.
Hal ini didasarkan pada sejumlah faktor, seperti luas wilayah izin pertambangan, peningkatan tenaga kerja dalam negeri, jumlah investasi, serta pemenuhan rantai pasok baik di dalam negeri maupun secara global. Namun, Bisman mengingatkan bahwa pengaturan ini tidak cukup kuat untuk menjamin transparansi dalam proses perizinan, yang berpotensi menimbulkan monopoli atau ketimpangan bagi pengusaha lokal, serta memungkinkan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat yang terdampak.
Revisi RUU Minerba ini juga menuai kritik terkait cacat prosedural dalam penyusunannya. Bisman mencatat bahwa RUU ini tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang berarti bahwa revisi ini terkesan tergesa-gesa dan tidak melalui mekanisme pembahasan yang memadai.
Ia juga menyoroti bahwa alasan yang digunakan untuk membenarkan perubahan, seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terkait pengaturan organisasi masyarakat yang memperoleh lokasi tambang, tidak relevan dalam konteks ini.
Menurut Bisman, putusan MK tidak menunjukkan adanya masalah konstitusional dalam Undang-Undang Minerba yang berlaku saat ini, sehingga revisi UU Minerba lebih terlihat sebagai langkah untuk melegitimasi pemberian akses tambang kepada pihak-pihak tertentu, yang lebih menguntungkan segelintir pihak dan swasta besar.
Melihat hal tersebut, Bisman mengimbau Presiden untuk tidak mengirimkan surat presiden (Surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR untuk melanjutkan proses pengesahan RUU Minerba.
Ia menekankan bahwa tanpa perbaikan dalam mekanisme pembahasan dan tanpa mempertimbangkan kepentingan publik secara menyeluruh, RUU ini akan menjadi celah untuk penyalahgunaan kewenangan, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat dan menguntungkan segelintir pengusaha besar.
Di sisi lain, Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, sebelumnya menjelaskan bahwa revisi UU Minerba bertujuan untuk memastikan bahwa manfaat tambang bisa dirasakan oleh masyarakat, dan bukan hanya menambah dampak negatif dari eksploitasi sumber daya alam seperti debu batu bara dan kerusakan lingkungan.
Bob juga menyatakan bahwa dengan revisi ini, diharapkan masyarakat bisa mengelola tambang dengan cara yang lebih berkelanjutan dan turut merasakan manfaat ekonomi yang lebih adil. Namun, Bisman berpendapat bahwa tanpa adanya regulasi yang jelas dan prosedur yang transparan, tujuan tersebut tidak akan tercapai, dan justru akan membuka peluang bagi pihak swasta untuk menguasai sumber daya alam secara sepihak.
Selain itu, meskipun perguruan tinggi dan UMKM diberikan kesempatan untuk mengelola WIUPK, Bisman meragukan apakah kebijakan ini akan memberikan dampak positif yang signifikan, mengingat kebanyakan perguruan tinggi atau UMKM tidak memiliki kapasitas finansial dan sumber daya yang cukup untuk mengelola tambang secara profesional dan berkelanjutan.