Kompetensi KPUD Dipertanyakan, 24 Daerah Harus Gelar PSU Pilkada 2024

Ilustrasi. Komisi II DPR soroti kinerja KPUD usai MK putuskan 24 pemilu ulang. Foto-REUTERS. -Foto Dok---
Radarlambar.bacakoran.co - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa 24 daerah harus menggelar pemungutan suara ulang (PSU) dalam Pilkada 2024 akibat berbagai pelanggaran hukum dan administrasi yang terjadi dalam proses pemilihan sebelumnya.
Keputusan ini memunculkan kritik terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), yang dinilai kurang cermat dalam melakukan verifikasi terhadap syarat calon kepala daerah.
Anggota Komisi II DPR RI, Edi Oloan Pasaribu, menyoroti peran KPUD dalam pelaksanaan Pilkada yang seharusnya berjalan transparan dan akurat. Menurutnya, banyaknya daerah yang harus menggelar PSU menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah, terutama terkait kompetensi petugas KPUD dalam menyaring calon kepala daerah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan putusan MK, ada 24 daerah yang harus menjalani PSU karena berbagai masalah pelanggaran hukum dan administrasi. Ini menjadi persoalan, mengingat banyak persyaratan standar yang seharusnya tidak bisa lolos dari pengamatan KPU daerah. Sebetulnya, seberapa kompeten penyelenggara di daerah dan apakah pemerintah daerah siap dengan pendanaannya untuk PSU?
PSU yang akan dilaksanakan di 24 daerah ini diputuskan MK setelah mengkaji berbagai kasus yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian prosedur dan indikasi pelanggaran administrasi dalam Pilkada 2024. Beberapa kasus mencakup verifikasi yang tidak akurat, kelalaian dalam pencatatan data pemilih, serta dugaan keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon.
Edi menegaskan bahwa meskipun pemerintah tengah melakukan efisiensi anggaran, PSU tetap harus digelar demi menjamin pemilu yang jujur dan adil. Ia pun meminta agar pengawasan terhadap PSU lebih diperketat agar prosesnya berjalan transparan dan tidak menimbulkan permasalahan baru yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu.
Terkait pendanaan, Edi mendorong pemerintah pusat untuk memberikan dukungan bagi daerah-daerah yang mengalami kendala anggaran dalam melaksanakan PSU. Menurutnya, hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Rapat Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu telah menghasilkan kesimpulan bahwa pemerintah daerah yang mengalami keterbatasan anggaran dalam menggelar PSU harus segera melaporkan kondisi keuangan mereka. Komisi II DPR meminta laporan mengenai kesiapan pendanaan PSU tersebut paling lambat 10 hari setelah rapat kerja dan rapat dengar pendapat (RDP) dengan penyelenggara pemilu.
Dalam konteks ini, masyarakat di 24 daerah yang terdampak PSU diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan mengikuti seluruh tahapan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Keputusan MK terkait PSU menjadi pengingat bahwa pelaksanaan Pilkada yang transparan dan sesuai aturan merupakan kunci utama dalam menjaga demokrasi yang sehat di Indonesia.(*/edi)