Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

Niat zakat fitrah bisa dimaksudkan untuk diri sendiri, anggota keluarga, maupun orang lain.//Foto:Freepik.--
Imam Syafi'i dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab menegaskan bahwa zakat fitrah tidak boleh diganti dengan uang karena bertentangan dengan praktik Rasulullah SAW. Oleh karena itu, di Indonesia, bentuk zakat fitrah berupa beras menjadi pilihan utama bagi penganut mazhab ini.
Pandangan Mazhab Hanafi: Boleh dalam Bentuk Uang
Sebaliknya mazhab Hanafi justru memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang. Menurut Imam Abu Hanifah, tujuan utama zakat fitrah adalah mencukupi kebutuhan mustahiq (penerima zakat) pada hari raya. Memberikan uang dianggap lebih bermanfaat karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pakaian atau kebutuhan rumah tangga.
Pendekatan ini dianggap lebih sesuai dengan realitas kehidupan modern, di mana kebutuhan masyarakat tidak hanya terbatas pada makanan pokok. Oleh karena itu, mazhab Hanafi memandang zakat fitrah dalam bentuk uang sebagai solusi yang sah dan efektif.
Pendapat Gus Baha: Fleksibilitas dengan Menekankan Kemaslahatan
Gus Baha, seorang ulama kontemporer, menawarkan pendekatan yang fleksibel dan moderat. Menurutnya, esensi zakat fitrah adalah membantu fakir miskin agar dapat merayakan Idulfitri dengan layak. Jika uang lebih bermanfaat bagi mustahiq, maka memberikan zakat dalam bentuk uang diperbolehkan.
Beliau menambahkan bahwa umat Islam dapat mengikuti mazhab Syafi'i dengan memberikan beras, namun dianjurkan untuk melebihkan takarannya sebagai bentuk kehati-hatian dan perhatian terhadap kebutuhan penerima. Pendekatan ini mencerminkan keseimbangan antara memegang teguh prinsip fikih dan mempertimbangkan kebutuhan nyata di masyarakat.
Keputusan Lembaga Bahtsul Masail PBNU